SONORA.ID - Dalam mendidik anak, seringkali para orang tua menerapkan aneka peraturan yang ketat. Padahal, anak-anak adalah makhluk yang bebas yang seharusnya diperlukan sebagaimana kodratnya.
Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando mengatakan para orang tua memerlukan waktu dan pengorbanan yang luar biasa. Hal tersebut disampaikan Kepala Perpusnas dalam Webinar Mengenal Karakter Anak Didik Guna Membangun Budaya Baca, pada Senin, (7/12/2020)
“Tidak semua orang memahami bagaimana membuat anak-anak gemar membaca. Bagaimana mereka punya kemampuan mengenal huruf, kata dan dapat menyampaikan pendapat" kata Syarif.
Anak-anak memiliki ruang-ruang keingintahuan yang mau tidak mau lingkungan sekitarnya harus memiliki kreativitas, seperti bagaimana ibu memiliki ide untuk menulis dalam lembaran dan kemudian si anak menyukai.
“Durasi anak-anak di sekolah tidak lebih dari 30 persen. Sisanya, mereka lebih banyak memiliki waktu di rumah. Maka itu, penting dipahami bagi para orang tua agar jangan meletakkan harapan kemampuan anak hanya dari sekolah, melainkan di rumah dimana mereka memiliki banyak waktu,” tambah Syarif Bando.
Kajian Program for International Student Assessment (PISA) seperti yang dirilis UNESCO mengungkap posisi peserta didik Indonesia yang hanya 47,4 persen yang bisa mengakses buku pelajaran. Di 2020, angka tersebut pasti mengalami penurunan lagi karena kondisi pandemi. Namun, tantangan berikutnya adalah bagaimana kebijakan study from home dan pengelolaan perpustakaan berbasis perpustakaan digital bisa menjangkau para siswa di rumah.
Sementara itu, Ketua Forum Dosen, Guru dan Masyarakat (Fordorum) Sri Watini mengatakan bahwa anak adalah pondasi masa depan penerus generasi bangsa, masa-masa observasi yang tidak mau berhenti belajar. Menurutnya, literasi saat ini tidak sekedar membaca tulisan, aksara, sistem dan budaya.
“Literasi lebih dari sekedar kemampuan baca tulis. Namun, lebih dari itu literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya. Literasi mencakup kemampuan membaca kata dan membaca dunia,” kata Sri Watini.
Sri Watini mengatakan, tiap anak memiliki cara yang beda dalam menerapkan literasi, eksistensi saat ini ketika tidak mampu menyampaikan secara tulisan maupun verbal. Kegiatan literasi menjadi suatu kewajiban bagi semua guru dan bidang studi.
Sementara itu, Pakar Literasi Informasi Anak Lucya Dhamayanti menjelaskan literasi informasi adalah seperangkat kemampuan yang mengharuskan orang untuk memiliki kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi, dan secara efektif menggunakan informasi yang diperlukan. Literasi informasi harus diperkenalkan pada anak sejak usia dini, bahkan sejak anak berada di dalam kandungan.
Bayi yang cenderung ‘didengarkan’ selama dalam kandungan, pada masa toddler-nya sistem sarafnya mulai berkembang. Pada saat itulah mulai dapat dikenalkan buku melalui panca indra perabaan dan penglihatan.
“Berikan pemahaman jika buku bukanlah ancaman melainkan hiburan. Meskipun sudah ada gawai modern menjadi kesenangan, membaca perlu menjadi prioritas. Dengan mengenali buku anak akan memiliki pengalaman fisik terhadap buku. Dan orang tua harus menyesuaikan buku bacaan yang sesuai dengan usia perkembangan anak dan kejadian yang melekat dengan kehidupan sehari-hari,” ungkapnya
Pustakawan Utama Perpusnas Adriana Zein menyampaikan untuk meningkatkan minat baca di lingkungan sekolah, pustakawan di perpustakaan sekolah harus memahami kebutuhan pembacanya, baik guru maupun siswa agar sejalan dengan yang diajarkan di sekolah. Pustakawan memiliki peran untuk menanamkan keyakinan dan komitmen pada siswa bahwa melalui membaca akan memperoleh banyak keuntungan.
Pustakawan harus berpikir kreatif bagaimana anak-anak mau memanfaatkan koleksi perpustakaan. Lebih baik koleksi buku tidak ada di rak karena dipinjam daripada memenuhi rak tanpa dibaca.
“Jadilah seperti malaikat, walau dalam keadaan sakit tetap memperlihatkan ekspresi yang ceria terhadap anak-anak supaya mereka menyenangi dan memanfaatkan koleksi kita dengan baik,” pungkasnya.