Sonora.ID – Beberapa waktu yang lalu, platform Twitter sempat dihebohkan dengan narasi seorang anak berumur 14 tahun yang sudah membuat CV dan sibuk dengan sejumlah kegiatan di area professional.
Pada awalnya, tidak ada yang mempermasalahkan anak tersebut menjadi pribadi yang aktif sejak usia muda, tetapi isu muncul ketika hal tersebut terkesan seperti toxic productivity dan tidak sesuai dengan fase usia remaja.
Banyak yang berargumen bahwa rentang usia belasan bukanlah fase seorang anak untuk terjun ke dunia profesional.
Pasalnya, anak umur belasan tahun masih memiliki waktu untuk mengeksplor dirinya lebih luas lagi dibandingkan sudah sibuk dengan banyak kegiatan hanya demi sebatas CV.
Baca Juga: Lirik Lagu 'Toxic' - BoyWithUke (all my friends are toxic) dan Terjemahannya
Terlalu banyak kegiatan ini lah yang kemudian dinilai sebagai toxic productivity. Tetapi, muncul satu pertanyaan, apakah sang anak benar-benar mempraktikan toxic productivity ketika dirinya disibukkan dengan banyak kegiatan untuk mengisi CV?
Sebelum dikaji lebih lanjut, masyarakat Indonesia harus paham terlebih dahulu dengan konsep toxic productivity.
Konsep Toxic Productivity
Terdengar cukup asing, namun toxic productivity kini sedang menjadi sebuah tren dan budaya yang tidak dapat dihindari terlebih di masa pandemi ini.
Secara sederhana, toxic productivity adalah sebuah tren yang menyebabkan seseorang merasa harus selalu produktif dan menganggap dirinya bernilai ketika memiliki banyak pekerjaan.
Konsep dari toxic productivity sebenarnya tidak beda jauh dengan hustle culture; bahkan bisa dikatakan bahwa tren produktif ini merupakan salah satu hasil dari hustle culture.
Baca Juga: 3 Zodiak yang Tidak Cocok dengan Scorpio, Kalau Dipaksakan akan Berujung Toxic Relationship!