Find Us On Social Media :
Webinar Gerakan Literasi di Papua (Dok Perpusnas)

Pemda Papua Diminta Segera Buat Perda Soal Gerakan Literasi

Jumar Sudiyana - Senin, 1 November 2021 | 16:46 WIB

Papua, Sonora.Id - Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Terdapat lebih dari 17 ribu pulau terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dengan kondisi geografis tersebut, tidak dipungkiri terjadi disparitas (kesenjangan) penyebaran buku yang kurang merata, khususnya yang berada di wilayah timur Indonesia, seperti Papua.

Masyarakat Papua masih sulit mengakses bahan bacaan. Maka, tidak hanya kampanye membaca agar indeks literasi masyarakat bisa terangkat, namun perlu strategi khusus seperti kolaborasi semua pihak untuk menyikapi persoalan tersebut.

Duta Baca Indonesia (DBI) Gol A Gong mengatakan salah satu upaya mengurangi kesenjangan bahan bacaan disana adalah mendorong daerah untuk segera menyusun peraturan daerah (Perda) tentang perbukuan sebagai respon atas terbitnya UU Perbukuan Nomor 3 Tahun 2017.

Perda perbukuan diyakini Gol A Gong akan memudahkan akses bahan bacaan dan perkembangan literasi masyarakat Papua. Sederhananya, pegiat literasi dan penulis buku di Papua tidak perlu repot-repot untuk sekedar mencetak buku ke Pulau Jawa.

Baca Juga: Perpusnas : Keberhasilan Ekonomi Kreatif Ditentukan Oleh Kualitas Pengetahuan dan Literasi Masyarakat

“Ketika Papua mempunyai perda perbukuan, maka payung hukumnya jadi lebih jelas. Dan disparitas bahan bacaan perlahan teratasi,” terang Gol A Gong pada Webinar DBI bersama pegiat literasi di Papua, Senin, (1/11/2021).

Gol A Gong mengharapkan agar para aktivis literasi bisa mendesak pemerintah daerah untuk segera menyusun perda tersebut. Pergerakan tanpa dukungan akan sulit dilakukan. Perda perbukuan merupakan satu bentuk dukungan terhadap perkembangan literasi di Papua.

Potret literasi di Papua juga digambarkan Ketua Rumah Baca Onomi Niphi, Hanny Felle. Hanny mengakui bahwa buku sulit diakses di Papua. Apalagi buku anak-anak. Kalau pun ada kondisinya sudah tidak terlalu bagus. Berlatar kondisi tersebut, Hanny bersama dengan para relawan dari sejumlah LSM berkolaborasi membuat gerakan mengajari anak-anak mau membaca.

“Ada lima relawan. Meski dengan kondisi dan sarana prasarana terbatas, kami konsisten mengajarkan aksara kepada mereka. Kami bergerak dari lingkungan terdekat. Fokus kami pada anak-anak usia sekolah 1-3 sekolah dasar,” ujar Hanny.

Kondisi literasi yang serupa juga disuarakan pegiat literasi Papua lainnya, Dayu Rifanto. Dayu Rifanto dikenal sebagai inisiator Gerakan “Buku Untuk Papua”. Gerakan ini diawali dari niatan seorang sahabatnya yang berdiam di Kota Nabire yang ingin mendirikan perpustakaan namun tidak memiliki bahan bacaan.

Dayu yang saat itu berkuliah di Yogyakarta lantas menggunakan jalur media sosial untuk menghimpun. Di akui dirinya, butuh waktu sekitar 3-4 bulan untuk mengumpulkan donasi. Kebanyakan dari penderma bertanya tanya dulu maksud dan tujuan donasi.