Find Us On Social Media :
Perkawinan anak di usia ini adalah praktik berbahaya yang merugikan pihak perempuan. (iStockphoto)

Tertinggi di Kalsel, Angka Perkawinan Anak di Batola Meningkat Drastis

Eva Rizkiyana - Senin, 17 Januari 2022 | 12:30 WIB

Banjarmasin, Sonora.ID – Kasus perkawinan anak di Kabupaten Barito Kuala yang menempati urutan tertinggi di Kalimantan Selatan mendapat sorotan dari banyak pihak.

Salah satunya DPRD Kalimantan Selatan yang menegaskan bahwa masalah tersebut merupakan tanggung jawab seluruh pihak.

Apalagi dari tahun ke tahun, kasus perkawinan anak di Kabupaten Barito Kuala terus meningkat. Yakni 45 kasus di tahun 2019, naik menjadi 145 kasus di tahun 2020 dan tahun 2021 mencapai 118 kasus.

Anggota Komisi I Bidang Hukum dan Pemerintahan DPRD Kalimantan Selatan, Karlie Hanafi Kalianda mengungkapkan, pihaknya selaku legislatif sudah bergerak dengan membuat Peraturan Daerah (Perda) sebagai pedoman bagi upaya pencegahan.

“Selebihnya kewenangan atau tanggung jawab instansi terkait serta keluarga dan masyarakat untuk bersama-sama memberikan penyuluhan pentingnya untuk tidak melakukan perkawinan dini atau usia muda,” tuturnya.

Baca Juga: Kasusnya Masih Tinggi, Kalsel Susun Strategi Penurunan Perkawinan Anak

Apalagi saat ini sudah ada UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang diimplementasiakn ke dalam Perda Kalimantan Selatan Nomor 11 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Sementara itu, Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Kabupaten Barito Kuala, Harliani mengakui jika kasus perkawinan anak di daerahnya tertinggi di provinsi ini.

Ia mengungkapkan, tingginya angka perkawinan dini di daerah tersebut mayoritas disebabkan budaya yang berkembang di masyarakat dan orangtua yang ingin melepas tanggung jawab.

“Terutama sekali akibat ketidaktahuan para orangtua tentang usia perkawinan di aturan terbaru, yaitu 19 tahun untuk laki-laki dan 19 tahun juga untuk perempuan. Sedangkan di aturan terdahulu sebelum mengalami perubahan, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur 16 tahun untuk perempuan,” jelasnya.

Menurutnya, solusi atau langkah yang diambil untuk menekan tingginya angka perkawinan dini adalah syarat adanya rekomendasi dari DPPKBP3A yang diajukan oleh Pengadilan Agama setempat.

“Jadi pasangan yang akan menikah di KUA, harus mendapatkan rekomendasi dari kami. Bila memenuhi syarat, rekomendasi diberikan, begitu juga sebaliknya,” tambahnya lagi.

Ia mengakui pada tahun lalu ada 118 pasangan yang ditolak untuk menikah karena tidak memenuhi syarat minimal usia untuk menikah.