Find Us On Social Media :
Sebuah keluarga di Dusun Grigak, Kelurahan Giripurwo, Kapanewon Girimulyo, Kulon Progo, DIY menyiapkan tradisi sesajen untuk mengirim doa kepada keluarga yang telah meninggal dunia. (Istimewa)

Guru Besar Sejarah UGM : Makna Sesajen Sebagai Kearifan Lokal Masyarakat Jawa

Jumar Sudiyana - Rabu, 9 Februari 2022 | 17:58 WIB

Yogyakarta, Sonora.Id - Sesajen bukan sesuatu yang asing bagi masyarakat Jawa dan sudah menjadi tradisi yang sangat kental sejak zaman nenek moyang mereka. Sesajen merupakan persembahan berisi berbagai makanan, minuman, buah-buahan dan perlengkapan lain seperti rokok, tembakau yang dipersembahkan kepada para leluhur. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, sesajen merupakan bentuk ucapan rasa syukur serta penghormatan pada leluhur.

Masyarakat Jawa secara turun temurun diajarkan untuk selalu menghargai, menghormati, serta memperlakukan seluruh makhluk hidup dan benda-benda tidak hidup dengan rasa welas asih. Sesajen sendiri dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur dan menciptakan keselarasan antara manusia, sang
pencipta dan alam.

Dengan adanya perkembangan zaman, kebudayaan dan tradisi dalam masyarakat telah mengalami perubahan. Dapat dilihat dari segi kegiatan yang dilaksanakannya, hal tersebut tidak terlepas dari penyebaran agama Islam yang diakulturasikan dengan kebudayaan lokal dari masyarakat.

Apa makna sesajen dan mengapa harus dilakukan?

Profesor Djoko Suryo atau KRT Suryohadibroto guru besar sejarah di Universitas Gadjah Mada menuturkan kepada Radio Sonora, sesajen merupakan salah satu tradisi orang Jawa dengan melakukan dan menyuguhkan aneka makanan atau pemberian makanan dan sejenisnya (dalam bahasa Jawa ubo rampe) untuk para leluhur dan orang yang sudah meninggal.

Menurut Prof Djoko sesajen bertujuan memberikan doa dalam bentuk benda makanan, supaya yang telah meninggal mendapatkan pengampunan dan segala amal perbuatannya diterima serta mendapatkan tempat di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa.

"Agar para leluhur yang telah meninggal dunia mendapatkan keselamatan atau slamet (bahasa Jawa) sehingga diadakan "Selametan". Prinsip selametan
yaitu selamat didunia dan akhirat serta mendapatkan pengampunan dam damai di alam keabadian," kata Prof Djoko.

Baca Juga: Sesaji Rewanda, Cara Warga Semarang untuk Menjaga Keseimbangan Alam

Menurut Djoko tradisi sesajen juga menjadi bentuk akulturasi/proses percampuran budaya pra Islam dan Islam saat masuk ke tanah Jawa. Segala bentuk
persembahan kepada Tuhan YME agar keluarga yang meninggal mendapatkan tempat terindah dan dijauhkan dari siksa kubur, serta dapat pengayoman
Allah SWT itu cara orang Jawa menterjemahkan agar mendapatkan keselamatan diakhirat.

"Keselarasan antara manusia, alam dan Tuhan sang pencipta alam semesta menjadi pengejawantahan dari tradisi sesajen tersebut, sehingga manusia hidup damai," tambah Prof Djoko Suryo.

Ia menegaskan bahwa tradisi sesajen merupakan bentuk kearifan lokal dimana nenek moyang kita memaknai ajaran-ajaran Agama Islam secara
berkesinambungan dari ajaran nenek moyang yang baik dalam meberikan arahan, panutan sehingga hubungan antara manusia di dunia dan alam terjalin
baik yang diwujudkan dalam bentuk doa-doa.

"Dalam Islam mengajarkan doa dan yang dilakukan dengan kumpul-kumpul berdoa bersama. Membaca doa dengan melafalkan ayat-ayat alquran secara bersama sehingga mendapatkan barokah. Generasi muda harus bisa meneladani tradisi leluhur adiluhung dan bisa menjalankan agama dengan sesuai ajarannya dengan lahir dan batin," tutup Sejarawan UGM tersebut.

Masyarakat Jawa merasa bangga/ marem [bhs Jawa) jika menjalankan ibadah sholat atau mengaji secara bersama-sama. Sehingga sesajen hanyalah sebuah imbol saja, tetapi inti sarinya adalah memanjatkan doa lantaran sesajen tersebut.