Find Us On Social Media :
Warga Tak Perlu Lagi Beli Elpiji di Desa Ini 'Gas' Melimpah dan Gratis (Tribun Solo)

Warga Tak Perlu Lagi Beli Elpiji di Desa Ini 'Gas' Melimpah dan Gratis

Ubaidillah Amin - Senin, 14 Maret 2022 | 17:55 WIB

Sonora.ID - Setelah era minyak tanah, gas LPG atau LPG sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat Indonesia.

Namun tidak di Desa Urutsewu, Kecamatan Ampel, Boyolali. Berapapun kenaikan harga elpiji, warga tidak keberatan.

Tahukah Anda bahwa di desa ini, warga sudah lama tidak bergantung pada kayu bakar, minyak tanah dan elpiji.

Mereka menggunakan kotoran sapi untuk menyalakan tungku! Benar saja, warga yang tinggal di wilayah perbatasan Kabupaten Boyolali dan Semarang memanfaatkan sampah sebagai sumber energi terbarukan.

Lalu, bagaimana caranya? Seluruh kotoran sapi dimasukkan ke dalam digester atau tangki adi bagaimana? Semua kotoran sapi ditempatkan di tangki pengomposan atau tangki bawah tanah untuk dekomposisi.

Dalam tangki, kotoran yang bercampur air dengan perbandingan 1:1 akan diurai oleh bakteri.

Beberapa hari kemudian, kotoran dari tangki bawah tanah penghasil gas akan disimpan di ruang kedap udara. Kemudian gas dialirkan oleh peralon ke kompor gas. Dari gas ini bisa menyalakan kompor, tidak berbeda dengan menggunakan LPG.

Kampung elpiji mandiri di Boyolali ini sudah aktif sejak tahun 2013. Namun baru viral belakangan ini karena kelangkaan elpiji bersubsidi yang beberapa kali menghantui warga sekitar.

Sri Haryanto, kepala desa terpilih saat itu, yang memprakarsai gerakan besar-besaran untuk membangun lubang biogas.

Baca Juga: 3 Kebijakan Pemerintah yang Berlaku Mulai 2022, Harga Gas hingga BPJS

Haryanto memikirkan bagaimana cara membuang kotoran sapi namun tidak mencemari lingkungan, mengingat jumlahnya yang banyak.

Mengubah kotoran sapi menjadi “bahan bakar” sumur biogas. Sumber modalnya adalah 2 sumur biogas binaan pemerintah, atau tepatnya BPTP (Balai Penelitian Teknologi Pertanian).

Padahal, bantuan ini sudah diberikan kepada Desa Urutsewu sejak lama.

"Sayangnya belum dimanfaatkan secara maksimal. Saya tergerak untuk tidak mempertanggungjawabkan penggunaannya di seluruh desa," kata Haryanto kepada TribunSolo.com, Minggu (13 Maret 2022). Ari yang semula hanya memiliki dua sumur biogas, kini memiliki 3 sumur di Desa Urutsewu.

Jumlah ini membuat semakin banyak pemilik rumah tanpa energi berbayar. Misalnya, sumur dapat digunakan untuk menerangi dapur di 37 rumah.

Hemat uang saat berbelanja. Menurut Haryanto, dengan biogas ini, rata-rata setiap rumah tangga bisa menghemat Rp720.000 per tahun karena tidak perlu membeli elpiji.

Jika Anda membeli kayu bakar, harganya bisa lebih mahal.

“Masyarakat rata-rata membutuhkan 72 ikat kayu per tahun dengan nilai sekitar Rp 1,4 juta,” jelasnya.

Tak hanya berhemat untuk belanja, warga yang terjun di sektor UMKM juga senang. Memang, sumur biogas dapat menghemat biaya produksi hingga 15%.

Baca Juga: Akibat Pandemi Covid-19, Konsumsi Elpiji 3 Kg Alami Kenaikan 1 Persen

Tutik Handayani adalah salah satunya. Dia tidak perlu mengeluarkan biaya produksi saat merebus kedelai sebelum dijadikan tempe.

"Saya hampir tidak pernah membeli bensin. Bahkan jika Anda hanya perlu membelinya untuk memesan" dia menjelaskan.

Bahkan, menurut Tutik, tanpa biogas, setidaknya itu dapat mengatasi 8 3 kg botol GPL. Tetapi dengan gas biologis ini, dia tidak peduli tentang membayar biaya untuk membeli bensin.

"Sedangkan menurut Sari, pemilik usaha kecil kentang goreng, tidak belanja elpiji bisa menekan biaya produksi hingga 10-15 persen.

Karena hasilnya adalah manfaat yang nyata, warga desa terus berinovasi.

Salah satu inovasinya adalah mencari tahu bagaimana sampah bisa dimasukkan sebagai komponen utama gas, bukan hanya kotoran sapi.

Saat ini, warga juga memanfaatkan ampas tahu sebagai bahan baku utama biogas.

Ada lima pabrik tahu di desa Urut Sewu, jadi ide awalnya adalah untuk mencari tahu mengapa penduduk setempat menggunakan ampas tahu.

Orang-orang juga meningkatkan untuk membuat sumur biogas mobile. Bentuk sumurnya bukan sumur besar di dalam tanah, melainkan digunakan drum plastik bekas yang didesain khusus. Selain perbedaan ukuran, perbedaan lain adalah jenis sampah yang dimasukkan.

Baca Juga: MOU Pengembangan LNG Terminal Bali Diteken untuk Penggunaan Gas Bumi

 

Biogas portabel ini tidak menggunakan kotoran hewan atau limbah pabrik tahu, melainkan menggunakan limbah organik rumah tangga.

Dari limbah yang dimasukkan ke dalam drum, dihasilkan gas, yang kemudian dialirkan melalui pipa parabola menuju kompor.

“Untuk satu tempat sampah, bisa digunakan untuk memasak selama 30 menit hingga satu jam, yang lumayan,” kata Haryanto.

Biaya membangun sumur biogas portabel adalah sekitar 1 juta. Inovasi tidak berhenti di sumur seluler.

Warga Dukuh Gilingan Lor, Desa Urutsewu, memanfaatkan sumur biogas ini untuk menghasilkan listrik.

Caranya, gas yang dihasilkan digunakan untuk menyalakan genset. Dari generator ini, warga dapat menghidupkan pompa sumur umum (PAMSIMAS) untuk memenuhi kebutuhan warga air minum.

Oleh karena itu, itu tidak hanya menghemat biaya untuk membeli gas GPL, warga juga dapat menghemat tagihan listrik. Bagaimana, lumayan bukan?

Baca Juga: Bangga! Indonesia Selesaikan Survei Seismik 2D Terpanjang di Asia Pasifik