Sonora.ID - Direncanakan Presiden Joko Widodo akan melakukan kunjungan ke Desa Kesetnana, Kecamatan Mollo Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada hari Kamis 24 Maret 2022.
Rencana tersebut pun disambut dengan gembira oleh Warga Desa Kesetnana, seperti Wlem Kono (36), bapak dari empat orang anak tersebut merasa gembira karena akan berjumpa dengan orang nomor satu di Indonesia.
Desa Kesetnana menjadi lokasi kunjungan Presiden Joko Widodo karena termasuk desa yang beresiko stunting. Selain permasalahan air bersih, faktor ekonomi, dan rendahnya pendidikan, informasi mengenai kesehatan juga menjadi salah satu penyebab tingginya potensi stunting. Hal ini terlihat dari sebagian besar rumah warga di Desa Kesetnana, yang tidak memiliki jamban yang layak.
Baca Juga: BKKBN: Mayoritas Daerah di NTT Punya Prevalensi Stunting yang Tinggi
Desa Kesetnana menjadi gambaran umum dari 278 desa yang ada di Kabupaten Timor Tengah Selatan, yang memiliki prevalensi stunting yang tinggi. Bahkan angka prevalensi stunting di Kabupaten Timor Tengah Selatan menurut Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 mencapai 48,3%, dan merupakan yang tertinggi di Indonesia.
Dipilihnya Timor Tengah Selatan oleh Presiden Joko Widodo dalam kunjungannya, merupakan bentuk "perhatian penuh" untuk penanganan stunting. Berdasarkan data SSGI 2021, NTT masih memiliki 15 kabupaten berkategori "merah", atau prevalensi stuntingnya berada di atas 30%.
Ke-15 kabupaten tersebut adalah Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Belu, Manggarai Barat, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata dan Malaka. Bersama Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara juga memiliki prevalensi di atas 46%.
Sementara itu, 7 kabupaten/kota yang berstatus "kuning" dengan tingkat prevalensi 20-30%, diantaranya adalah; Ngada, Sumba Timur, Negekeo, Ende, Sikka, Kota Kupang serta Flores Timur. Bahkan tiga diantaranya, yakni; Ngada, Sumba Timur dan Negekeo mendekati status merah.
Tidak ada satupun daerah di NTT yang berstatus hijau yakni dengan tingkat pravalensi stunting antara 10-20%. Oleh sebab itu, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) membutuhkan kolaborasi dengan semua pihak.
Baca Juga: BKKBN: Prevalensi Stunting di Kabupaten Timor Tengah Selatan 48,3 persen
"Timor Tengah dan NTT sengaja menjadi titik tumpu kunjungan Presiden Joko Widodo mengingat NTT merupakan provinsi prioritas penanganan stunting dengan prevalensi 37,8 persen di tahun 2021, tertinggi dari angka rata-rata prevalensi stunting semua pronsi di tanah air yang mencapai 24,4 persen," jelas Kepala BKKBN Hasto Wardoyo, Rabu (23/3/2022).
Menurut Hasto, persoalan tingginya stunting di di NTT bukan hanya persoalan kesehatan dan kekurangan gizi, akan tetapi juga karena warga memiliki kesulitan dalam mengakses fasilitas pelayanan kesehatan. Faktor kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan serta pola asuh yang salah, turut menyumbang tingginya angka prevalensi stunting.
Langkah kongkret yang diperlukan untuk mempercepat penurunan angka stunting adalah pelibatan mitra kerja untuk memperluas jangkauan intervensi sesuai sesuai dengan kebutuhan sasaran dan potensi yang dimiliki mitra kerja.