Jakarta, Sonora.ID - Direktur Eksekutif Salemba Institute (SI), Edi Homaidi menyayangkan sikap Ketua Komnas Perlindungan Anak (PA) Arist Merdeka Sirait, menyeret-nyeret lembaga yang dipimpinnya masuk dalam pusaran konflik persaingan dagang.
Apalagi sampai memihak ke salah satu perusahaan air mineral dalam kemasan, dengan alasan untuk melindungi anak-anak Indonesia agar hidup dan berkembang dengan sehat.
"Menurut saya, pernyataan Pak Arist yang mendukung dan siap mengawal BPOM merevisi Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) No. 31/2018, soal pelabelan pada galon guna ulang yang mengandung zat Bhispenol BPA, bukan ranahnya Komnas PA," ungkap Ketua Salemba Institute, Edi Homaidi dalam siaran persnya Kamis (9/6/2022)
Menurut Edi, kalau pun Arist mau bersikap mestinya memberi masukan pada BPOM agar lebih fair kepada semua pelaku bisnis.
Sebuah kebijakan seharusnya mengatur secara menyeluruh dan tidak bisa bersifat terlalu spesifik dan menyasar hanya pada satu jenis produk, karena akan terkesan diskriminatif.
Baca Juga: Pemerintah Susun Peraturan Pelaksana UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Sebagaimana diketahui BPOM berencana akan mengubah peraturan Kepala BOPM No 31/tahun 2019 tentang Pelabelan kemasan, dimana nantinya semua galon guna ulang berbahan PC diberi label yang bertuliskan “Berpotensi Mengandung BPA”.
“Selaku pimpinan Komnas PA, harusnya profesional, dan tidak memihak kesalah satu perusahaan. "Termasuk kepada BPOM, kita meminta untuk tidak diskriminasi dalam mengeluarkan aturan. BPOM harus bersikap independen," tegasnya lagi.
Salemba Institute menilai, Kebijakan pelabelan BPA pada galon ini perlu dikaji ulang mengingat belum adanya preseden yang nyata dan jelas-jelas merugikan masyarakat.
Sebagaimana diakui oleh Yayasan Lembaga Kunsumen dan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) hingga saat ini belum pernah ada satu pengaduan pun yang masuk kepada lembaga mereka terkait kasus kesehatan serius yang diakibatkan oleh bahaya BPA yang berasal dari air minum berkemasan galon.
Hal lain yang harus menjadi pertimbangan BPOM adalah BPA tidak hanya terdapat pada PC yang digunakan sebagai bahan pembuatan galon guna ulang tetapi juga terdapat dalam botol susu bayi dan dalam plastik pelapis makanan kaleng.
Baca Juga: Dorong Kasus Perundungan Anak di Tangerang Selatan Diselesaikan Secara Diversi
"Apakah kemasan-kemasan tersebut juga menjadi perhatian BPOM, bila yang lain tidak dikenakan peraturan ini, maka argumen BPOM untuk melindungi kesahatan masyarakat menjadi sangat lemah, apalagi banyak pakar yang mengatakan bahwa BPA pada pelapis makanan kaleng lebih mudah berinteraksi dengan makanan karena bersihat lemak dan disajikan dalam keadaan panas," tegas Edi.
Lebih lanjut Edi, menjelaskan bahwa sebenarnya bukan hanya BPA yang terdapat dalam kemasan pangan, tetapi terdapat banyak zat berbahaya lainnya pada kemasan pangan seperti Acethyl Dehide pada PET, logam seperti besi, angan pada makanan.
Semua itu juga harus menjadi perhatian BPOM kalau benar-benar ingin meliindungi masyarakat.
Kritik terhadap sikap Arist Merdeka Sirait terkait dukungan kerasnya pada kebijakan pelebelan BPA pada galon guna ulang ini juga telah dikritik oleh penggiat kemajuan anak Indonesia dan pendiri Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Kak Seto Mulyadi dan anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia Retno Listiyati. Keduanya mengatakan bahwa Komnas PA seharusnya lebih fokus pada upaya perlindungan anak dari tindak kekerasan terhadap anak.
Kak Seto Mulyadi, S.Psi., M.Si, yang juga seorang psikolog meminta agar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kemenkes membuat klarifikasi yang benar mengenai isu ini.
Kak Seto khawatir, banyak orangtua yang terpapar hoaks akibat berkembangnya isu terkait BPA ini.
“Isu hoaks bahaya BPA di galon guna ulang ini harus betul-betul mendapat klarifikasi pihak yang berwewenang, seperti dari BPOM atau Kemenkes. Mohon segera diklarifikasi, sehingga berbagai kesalahpahaman masyarakat tidak semakin berkembang,” ujarnya.
Kak Seto menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada satupun orangtua dari anak penderita autis yang melapor ke LPAI hanya karena penggunaan air minum galon guna ulang.
“Sampai saat ini LPAI belum pernah mendengar laporan ada anak yang menderita autis karena terlalu banyak minum air galon," ujarnya.
Hal serupa juga dikatakan oleh Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, saat dimintai keterangannya mengenai polemik BPA pada galon guna ulang.
Menurutnya, KPAI tidak pernah melakukan advokasi terkait masalah kesehatan terutama kandungan BPA pada gallon guna ulang. Retno mengatakan, masalah kesehatan pangan itu sudah ada ranah yang menanganinya, yaitu Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
"Jadi kami konsennya cukup ke masalah pengasuhan dan pendidikan anak saja. Tidak melebar-lebar ke sana dan ke sini," ujarnya.