Sonora.ID - Penguatan nilai-nilai revolusi mental melalui media sosial menjadi sebuah hal yang sangat penting.
Menurut data dari survey Microsoft bertajuk Digital Civility Index (DCI), tingkat keadaban digital masyarakat Indonesia tahun 2021 sangat buruk, bahkan terburuk di Asia Tenggara.
Hal ini disampaikan oleh Deputi Bidang Revolusi Mental, Pemajuan Budaya, dan Prestasi Olahraga Kemenko PMK Didik Suhardi dalam rapat penguatan diseminasi media Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) bersama Sabrang Mowo Damar Panuluh, inisiator aplikasi media sosial, Symbolic.id, Senin (4/7).
“Sangat memprihatinkan. Data menyebut 47% media digital digunakan untuk hoax dan penipuan, 27% untuk ujaran kebencian, dan 13% digunakan untuk diskriminasi. Untuk itu, hari ini kita akan berbincang dengan Mas Sabrang untuk mencari peluang memanfaatkan sebuah platform sebagai cara untuk meningkatkan nilai keberadaban media kita,” jelas Didik Suhardi.
Baca Juga: Kabar Gembira! Ini Besaran Gaji Ke-13 yang Cair untuk Para Pensiunan PNS, Intip Cara Mencairkannya
Tak dapat dipungkiri, media sosial didesain kebanyakan untuk mencari profit, bukan tertuju pada penggalian nilai-nilai atau values.
Dunia informasi bergerak dengan cepat dan media sosial menjadikan komunikasi menjadi wadah yang sangat luas.
“Untuk itu perlu social engineering yang tepat yang dibangun dengan panduan value local wisdom masyarakat kita. Kita punya gotong-royong dan sangat in line dengan falsafah Islam fastabiqul khairat,” urai Sabrang.
Sebagai social engeneering tentu pemerintah hadir dan melibatkan institusi sosial seperti universitas, ormas, dan sebagainya.
Diperlukan kolaborasi gotong royong dana dari para pelaku usaha melalui CSR, sponsorship, beasiswa, dan kalangan filantropi.
Selain itu, perlu ada peran negara untuk menguatkan kembali nilai gotong-royong dengan pengembangan investasi sosial yakni tenaga, dana, dan ilmu.
“Penguatan gotong-royong dalam struktur sosial melalui komunitas dalam hal ini di media sosial akan menghasilkan mental model. Adanya tanggung jawab komunal tentang pentingnya kerukunan, kebersamaan yang hadir dari pola-pola sosial-budaya yang terjadi berulang,” urai Sabrang.
Harus diakui, imbuh Sabrang, struktur sosial dalam media sosial ditemui dengan hadirnya distribusi kepercayaan dari jumlah follower, like, dan dominasi nilai popularitas.
“Oleh karenanya terbangun mental model perlombaan popularitas, eksitensi lebih penting daripada fungsi,” tuturnya.
Baca Juga: Harga Tiket Masuk Taman Nasional Komodo Rp3,75 Juta pada Agustus 2022
“Ruang sosial tidak hanya untuk mengobrol, tetapi juga untuk belajar. Penting untuk mengimplementasi nilai gotong royong di sosial media melalui penggunaan investasi keilmuan, pendampingan yang membangun impact terhadap masyarakat. Dan akhirnya terbangun mental model untuk berlomba berbagi manfaat dan dampak,” urainya lagi.
Kegiatan kali ini dihadiri berbagai kalangan. Hadir Kepala Pusat Data dan Teknologi Informatika BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) Jacob, anggota BPIP dan Ketua umum PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) Jendral Wisnu Bawa, Perwakilan Permabudhi (Persatuan Umat Buddha Indonesia) Bima, anggota PHDI Nyoman Widia, Direktur Pemberdayaan Informatika Kominfo, dan Perwakilan Ristek Dikti.
Sementara hadir secara daring adalah Ketua II Tim Ahli GTN GNRM Arif Budimanta serta Dewan Pembina PGRI Dudung Abdul Qodir.
Dalam kesempatan itu, Didik Suhardi menegaskan bahwa Kemenko PMK akan membahas lebih jauh Sinergi dengan BPIP, Kemendikbud Ristek, dan Kominfo tindaklanjut hasil rapat hari ini.
Diharapkan kolaborasi ini nantinya bisa membangun konsep gotong-royong dalam rangka meningkatkan indeks keadaban digital pada masyarakat.
“Semoga menghindarkan mentalitas-mentalitas negatif masyarakat dalam berperilaku di media sosial. Penguatan nilai-nilai revolusi mental seperti etos kerja, gotong royong, integritas melalui media sangat penting, terlebih dengan potensi bonus demografi dimasa mendatang. Harapannya kita terhindar dari disaster demography,” pungkas Didik.