Cibinong – Sonora.Id - Pada tahun 2022, program prioritas Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) fokus membantu penanggulangan masalah pangan dan energi. Apalagi setelah pandemi dan perang Rusia-Ukraina, telah menimbulkan perubahan kondisi yang luar biasa. Pasokan pangan dan energi dunia pun mempengaruhi Indonesia.
“Pandemi mengajarkan kita harus memiliki kedaulatan pangan dan energi. Jadi bukan hanya cukup pangan dan energi, tetapi harus berdaulat. Itu menjadi fokus kami bagaimana bisa mendukung kedaulatan pangan dan energi lebih kuat dan siap ke depannya,” tutur Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko dalam acara “Ngopi Sore” yang dihelat Sonora 92 FM, Rabu (3/8).
Handoko mengatakan kedaulatan pangan, termasuk kesehatan merupakan tujuan utama BRIN. Dalam konteks pada saat pandemi, pihaknya belajar banyak seperti menghadapi masalah vaksinasi yang terbatas, dengan waktu singkat untuk populasi yang sedemikian besar. “Meskipun kita termasuk negara yang mampu mendapatkan vaksin dalam jumlah yang memadai dengan upaya yang luar biasa dari Kemenlu, BUMN, Kemenkes, untuk Covid-19 kita masih belum mengetahui sampai kapan harus vaksin secara terus-menerus. Itulah makanya salah satu fokus kami bahwa konteks kedaulatan pangan untuk riset masih terus dilanjutkan untuk vaksin,” ungkapnya.
Di sisi lain, Handoko menyebutkan kedaulatan energi termasuk salah satu fokus utama BRIN untuk jangka pendek sampai tahun 2024. Kedaulatan energi, termasuk kebencanaan dan lingkungan adalah isu utama di Indonesia, yang memiliki populasi besar namun mempunyai masalah lingkungan yang sangat spesifik.
“BRIN memiliki banyak aspek dan aspek energi sangat luas mulai dari energi konvensional, contohnya terkait bahan bakar minyak, tetapi kita masuk ke realisasi misalnya campuran B.40 untuk solusi jangka pendek karena belum bisa ke listrik dan bagaimana mengurangi BBM memanfaatkan sumber energi terbarukan misalnya minyak sawit dan sebagainya, karena kita kaya dengan sumber-sumber hayati,” urainya.
Handoko juga mengatakan nuklir tanpa disadari, telah ada di sekitar kita sejak lama, contohnya di rumah sakit seperti peralatan medis, terapi medis berbasis nuklir yang sudah menjadi standar. Apalagi, Indonesia adalah negara nuklir pertama di Asia yang memiliki reaktor sejak tahun 1958, bahkan sebelum Jepang dan Korea. “Kita sudah lama dan memiliki tiga reaktor di Bandung, Puspiptek Serpong, dan Yogyakarta,” ungkapnya.
Handoko menjelaskan pula tentang tantangan diaspora untuk kembali ke Indonesia. Menurutnya, pihaknya melakukan hunting untuk SDM unggul secara proaktif ke berbagai perhimpunan mahasiswa Indonesia dan kampus-kampus. “Pertama adalah para periset, yakni seberapa jauh kita melanjutkan aktivitas riset. Saat ini dari sisi take on pay untuk di BRIN sudah sangat memadai jika dibandingkan dengan Malaysia. Sehingga kita cukup kompetitif dari sisi gaji. Dari sisi prospek penting, itulah sebabnya kita banyak membuat skema-skema yang belum pernah ada di negara ini, antara lain skema mobilitas periset maupun berbagai skema hibah periset,” jelasnya.
Handoko mengungkapkan setelah integrasi dana BRIN cukup memadai karena BRIN telah melakukan perubahan pola manajemen riset. Biaya yang paling besar pertama adalah infrastruktur seperti investasi, pemeliharaan maupun operasional. Kedua, biaya sumber daya manusia yaitu gaji.
“Untuk biaya bahan riset lebih murah, kita memakai sistem di berbagai negara yaitu kompetisi, jadi setiap orang harus berkompetisi untuk mendapatkan dana riset untuk bahan, sehingga banyak tim-tim riset sudah bisa riset karena infrastruktur ada. Infrastruktur inilah yang kita buka aksesnya, termasuk untuk kampus dan tidak hanya untuk periset BRIN,” terangnya.
Handoko menjelaskan bahwa ada sembilan skema hibah riset dan inovasi, terdiri atas skema riset ada empat, sedangkan lima untuk skema inovasi. Contoh skema inovasi, yaitu skema pengujian produk inovasi kesehatan untuk uji klinis tidak diberikan ke periset, tetapi ke tim uji klinis yang independen bermitra kepada pelaku usaha seperti industri farmasi. Hal ini akan mempercepat kandidat seperti obat bisa dikomersialisasi.
Selain itu, Handoko mengharapkan melihat periset BRIN benar-benar bisa menjadi yang terdepan secara global dan periset yang akan membawa daya saing negara dan bangsa. “Kita harapkan periset BRIN harus menjadi periset-periset unggul yang mampu menjadi yang terdepan dan membawa gerbong para periset dan inovator Indonesia dari manapun mereka berasal seperti industri, kampus,” pungkas Handoko.