Find Us On Social Media :
Ilustrasi Seorang Warga Negara Asing (Istimewa)

Suami WNA dan Anak Berkewarganegaan Ganda, Bisa Pakai Visa RI yang mana?

Jumar Sudiyana - Jumat, 9 September 2022 | 14:18 WIB

Jakarta,Sonora.Id – Jamaknya pernikahan beda negara pada saat ini membuat penyesuaian di sana sini menjadi hal rutin yang tidak terhindarkan. Tidak terkecuali penyesuaian diri dengan aturan negara mengenai visa, dalam hal ini visa untuk suami dan anak yang lahir dari pernikahan campuran. Hal tersebut kerap menjadi pertanyaan dari Sobat Mido pelaku perkawinan beda kewarganegaraan.

Berikut adalah salah satu pertanyaan yang masuk ke email humas@imigrasi.go.id yang mewakili banyak pertanyaan serupa.

Halo Mido,

Saya WNI yang saat ini berdomisili di Jerman. Suami saya merupakan WNA Jerman dan kami memiliki 1 orang bayi perempuan berusia 11 bulan dan memiliki paspor Jerman. Kami memiliki rencana pergi ke Indonesia pada April 2022 dalam rangka kunjungan keluarga dengan masa tinggal di Indonesia maksimum 30 hari (karena cuti kerja suami saya terbatas). Saya mendapat informasi kalau visa kunjungan keluarga untuk sementara ditutup.
Apakah ada opsi lain untuk suami dan anak saya agar dapat masuk ke Indonesia ? Kami berencana liburan sekitar 7 hari di Bali sebelum berkunjung ke rumah kerabat di Surabaya.
Terimakasih untuk waktu dan perhatiannya.

Selamat Siang Sahabat Mido.

Terkait pertanyaan Anda, berikut penjelasan Mido ya:

Dengan peraturan terbaru yang berlaku, ada dua opsi visa untuk suami Anda. Pertama adalah visa kunjungan saat kedatangan/visa on arrival (VoA) khusus wisata yang bisa diperoleh pada saat mendarat di Bali. Visa ini berlaku selama tiga puluh hari dan dapat diperpanjang maksimal 30 hari berikutnya di kantor imigrasi di wilayah domisili orang asing (OA). Biaya VoA sebesar IDR 500.000.

Opsi kedua adalah mengajukan visa tinggal terbatas (Vitas) penyatuan keluarga, dengan Anda (istri) sebagai penjamin. Penjamin harus mendaftar terlebih dahulu di laman visa-online.imigrasi.go.id.

Setelah menerima user ID dan password, permohonan visa bisa diajukan di laman yang sama. Vitas penyatuan keluarga biasanya berlaku selama satu tahun dengan biaya visa IDR 200.000 + USD 150, yang diikuti pengurusan izin tinggal terbatas (ITAS) dan izin masuk kembali (IMK) di kantor imigrasi dengan biaya sebesar IDR 1.500.000 (ITAS) dan Rp. 1.000.000 (IMK) setelah OA tiba di Indonesia. Keuntungan mengurus visa tinggal terbatas adalah OA bisa keluar-masuk Indonesia selama jangka waktu izin tinggalnya tanpa perlu bolak-balik mengurus visa.

Baca Juga: Tanpa Visa! Semua Orang Mampu Liburan di Tempat Wisata Internasional

Sebagai anak yang lahir dari perkawinan WNI-WNA, putri anda bisa mendapatkan fasilitas affidavit untuk bisa masuk ke Indonesia tanpa visa. Affidavit adalah fasilitas keimigrasian yang diberikan oleh pemerintah RI untuk anak yang lahir dari perkawinan antara WNI dengan WNA (berkewarganegaraan ganda) yang belum berusia 18 tahun atau belum menikah. Anak berkewarganegaraan ganda (ABG) tersebut wajib didaftarkan oleh orang tua atau walinya pada kantor imigrasi atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak. Pendaftaran dimaksudkan untuk memperoleh fasilitas sebagai WNI yang berkewarganegaraan ganda terbatas. Jika ABG telah berusia 18 tahun atau sudah menikah harus mengajukan pernyataan memilih salah satu kewarganegaraannya.

Affidavit akan dilekatkan pada paspor asing dari ABG yang menjelaskan statusnya sebagai subjek pasal 41 Undang-undang Kewarganegaraan. Selain itu, putri anda juga dapat memiliki paspor RI. Pengurusan paspor bisa dilakukan baik di dalam maupun di luar Indonesia. Singkatnya ABG yang telah memiliki affidavit dan paspor RI, bisa masuk ke Indonesia tanpa visa hingga usianya 18 tahun dan memilih kewarganegaraan. Nah, demikian penjelasan yang bisa Mido berikan terkait visa untuk suami WNA dan anak berkewarganegaraan ganda. Semoga membantu.

Rujukan Peraturan:
1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2019 tentang PNBP di lingkungan Kemenkumham;
3. Peraturan Menkumham Nomor M.HH-19.AH.10.01 tahun 2011;
4. Peraturan Menkumham Nomor 8 tahun 2014.