Find Us On Social Media :
Keterangan foto: Ramah tamah dan silaturahmi Gubernur Kalimantan Barat bersama Ahli Waris dr Rubini, Kamis (10/11). (Sumber foto: Indri Rizkita)

Perjuangan dr. Rubini di Masa Penjajahan Jepang hingga Mendapat Gelar Pahlawan Nasional

Indri Rizkita - Kamis, 10 November 2022 | 18:10 WIB

Sonora.ID - Gelar pahlawan nasional diterima oleh Almarhum dr. Raden Rubini Natawisastra pahlawan asal Kalimantan Barat.

Ia merupakan dokter yang berasal dari tanah Sunda dan menetap di Provinsi Kalbar selama 17 tahun.

Rubini menjalankan misi kemanusiaan dengan menjadi dokter keliling melayani pengobatan di daerah terpencil dan pedalaman.

Penyerahan penganugerahan tersebut dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dan diterima oleh ahli waris dr. Rubini pada 7 November lalu.

Baca Juga: Gubernur Kalbar Ingin Generasi Muda Maknai Hari Pahlawan dengan Menuntut Ilmu Setinggi-tingginya

Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia, Giwo Rubianto menceritakan proses penerimaan gelar pahlawan nasional yang diterima oleh dr. Rubini.

“Prosesnya lancar tidak ada hambatan menjadikan dr. Rubini menjadi pahlawan nasional, dimulai dari kunjungan kerja Kongres Wanita Indonesia pada saat pandemi, kami turun ke Kalbar bekerja sama dengan badan kerja sama organisasi wanita yang diketuai ibu Erlina, kemudian melaksanakan vaksin Mandor Juang, dan kami juga bersama ahli waris nyekar bekunjung ke Mandor Juang. Kami mendengar langsung aspirasi dari warga bahwa dr Rubini sangat pantas dijadikan pahlawan nasional karena perjuangan beliau yang sangat heroik melawan kekerasan terhadap perempuan dan anak,” ujarnya saat Ramah Tamah Gubernur Kalimantan Barat bersama Ahli Waris dr Rubini, Kamis (10/11).

Giwo menjelaskan, saat itu dr Rubini menjadi kepala rumah sakit dan dokter keliling melihat data-data kekerasan perempuan dan anak.

Baca Juga: 12 Ide Kostum untuk Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2022, Kreatif dan Simple!

“Datanya sangat besar dan angka kematian ibu melahirkan sangat besar. Disampaikanlah pada tokoh-tokoh Kalbar dari berbagai macam suku, didengarlah oleh penghianat dan dilaporkan ke Jepang. Ternyata Jepang pada saat itu menjajah dan memberikan hukuman yang sangat tragis dan disusul dengan istrinya, istrinya meninggalkan anak-anaknya pada saat masih kecil, paling besar 12 tahun, paling kecil 1 tahun. Mereka lebih mementingkan masyarakat Kalbar daripada keluarganya,” jelas Giwo.