Jakarta,Sonora.Id - Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah menetapkan dua korporasi sebagai tersangka kasus gagal ginjal akut. Adapun Penetapan tersangka kedua korporasi setelah penyidik melakukan pemeriksaan terhadap 41 saksi, sedangkan 2 korporasi, yakni PT. AF dan CV. SC yang diduga melakukan tindak pidana memproduksi obat atau mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar atau persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan dan mutu.
Penetapan tersangka tersebut, nampaknya mendapatkan reaksi dari masyarakat dari berbagai kalangan, salah satu diantaranya adalah Rudy Darmawanto, SH Ketua Umum Poros Rawamangun, yang mengatakan bahwa penetapan tersangka kasus gagal ginjal akut, yakni dua perusahaan tersebut, yakni PT. AF diduga mendapatkan bahan baku tambahan tersebut dari CV. SC, di mana setelah dilakukan kerja sama dengan BPOM.
Menurut Rudy dilokasi CV. SC ditemukan 42 drum propylene glycol yang setelah dilakukan uji lab oleh Puslabfor Polri mengandung ethylene glycol yang melebihi ambang batas, nampaknya belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, terutama korban yang merasakan adanya keanehan dalam penetapan tersangka tersebut.
“Ya, mestinya, pihak Bareskrim juga memeriksa BPOM yang diduga tidak melakukan kewajiban hukumnya untuk mengawasi peredaran obat sirup dengan baik, bahkan sangat disayangkan pengawasan BPOM justru “dilimpahkan” kepada industri farmasi, Badan publik seperti BPOM itu seharusnya melakukan tugas dan wewenang untuk menguji sendiri bukan diaerahkan ke industri farmasi," kata Rudy.
Menurut Rudy, BPOM diduga melanggar asas kecermatan karena menyampaikan informasi publik yang dianggap berubah-ubah terkait daftar obat sirup yang tercemar etilen glikol dan dietilen glikol. Bagi masyarakat, pengumuman yang berubah-ubah ini merugikan serta membahayakan masyarakat, serta tentunya asas keterbukaan juga dilanggar dalam hal ini.
Lanjut Rudy jika merujuk Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang BPOM, dapat disimak pertanggungjawaban dan aturan pidana bagi BPOM yang memiliki kewenangan untuk pengawasan obat, pengawasan produksi, pengawasan serta menyelenggarakan fungsi pelaksanaan pengawasan sebelum beredar dan pengawasan selama beredar.
Kalau ditemukan ada penyimpangan dalam tugas dan fungsi BPOM, maka berlaku pulalah pertanggungjawaban dan aturan pidana bagi unit BPOM yang membidangi pengawasan obat, pengawasan produksi, pengawasan distribusi, baik sebelum beredar maupun selama beredar
"BPOM RI jelas melakukan perbuatan melawan hukum penguasa karena dari awal tidak inisiatif dan dalam perkembangannya malah melimpahkan kesalahan ke Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, dan perindustrian, nah mestinya Bareskrim Mabes Polri juga patut untuk menyelidiki, menyidik dan bahkan menetapkan BPOM sebagai tersangka, jangan hanya pihak perusahaan farmasi yang memproduksi obat-obatan sirup yang tercemar tersebut,”tukas Rudy.
Rudy menambahkan apabila BPOM secara sengaja (dolus) atau lalai (culpa) dalam menjalankan kewenangannya, di sinilah sudah septutnya kewenangan penyidik dalam proses penyidikanoleh pihak Bareskrim atau JPU pada penuntutan untuk pengembangan kasus tersebut, dan juga terhadap pertanggungjawaban BPOM yang diduga lalai.
Akibat dugaan kelalaian tersebut menyebabkan jatuhnya sekitar tiga ratusan korban meninggal dunia, Jika ditemukan adanya bukti dugaan kelalaian dan kesengajaan dari oknum tertentu yang membuat masalah ini seharusnya bisa dicegah sejak awal, maka hal ini harus dipertanggungjawabkan secara hukum.
“Tidak boleh ada korban nyawa manusia akibat kelalaian apalagi kesengajaan dari pihak mana pun. Dan penegak hukum, khususnya Polri, berkewajiban melindungi warga negara dari tindakan pelanggaran hukum, apa pun, dan siapa pun pelakunya, untuk itu sebaiknya Bareskrim juga mencermati adanya unsur kelalaian tersebut kepada BPOM,"tutupnya.
Poros Rawamangun justru mempertanyakan keputusan Bareskrim tidak menyelidiki, tidak menyidik dan bahkan tidak menetapkan BPOM sebagai tersangka dugaan kelalaian dalam kasus gangguan ginjal akut.