Bali, Sonora.ID - Disebutkan dalam Purana Pura Dalem Balingkang, di mana suatu ketika Bali dipimpin oleh seorang Raja yang bergelar Sri Aji Jayapangus Arkaja Lancana yang beristri seorang putri saudagar Cina bemarga Kang, yaitu putri Kang Cing Wie, yang diberi gelar Sri Mahadewi Cacangkaja Cihna (Cina).
Saudagar Kang memberikan uang kepeng kepada Raja Sri Jayapangus agar sang Raja menggunakan uang itu sebagai alat tukar dan sebagai sarana dalam upacara agama di Bali sebagai tanda persatuan antara dua adat yang berbeda.
Para warga asal Cina yang menjadi abdi Saudagar Kang diberikan tempat bermukim dan lahan pertanian disekitar Gunung Batur.
Namun terjadi hal yang tak terduga, Gunung Batur meletus dan hujan badai turun selama sebulan dan tujuh hari diwilayah kerajaan.
Baca Juga: Makna Lembu dalam Upacara Ngaben di Bali, Erat dengan Leluhur?
Terjadilah banjir lahar dan penyakit campak dan disentri yang membuat sengsara dan kematian rakyatnya.
Raja segera memanggil para menterinya mengadakan rapat untuk mengatasi bencana ini.
Di tengah tengah rapat datanglah Putri Kang Cing Wie yang menyarankan kepada Raja supaya rakyat etnis Tionghoa maupun pribumi yang tinggal disekitar Gunung Batur segera mengungsi ke wilayah di sebelah barat Gunung Batur.
Seluruh rakyat etnis Tionghoa selamat, dan terbentuklah sebuah Desa yang dinamakan "Ping An" yang artinya damai dalam bahasa Tionghoa.
Lama-kemalaan karena lidah Bali sulit melafalkan kata Ping An, maka sampai sekarang desa itu dikenal sebagai Desa Pinggan.