Sonora.ID - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) terus mencari titik temu yang dapat disepakati Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Dalam keterangannya usai mengikuti rapat di Kantor Presiden, Jakarta, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyampaikan bahwa sejumlah masalah dalam RKUHP telah disepakati.
“Ada materi-materi yang diperdebatkan baik di kalangan masyarakat maupun antarpartai juga, tapi sejumlah masalah sudah disepakati dan juga sudah dikoordinasikan untuk mencari temu keseimbangan antara kepentingan individual, kepentingan masyarakat, dan juga kepentingan negara,” ungkap Mendagri, Senin, (28/11/2022).
Baca Juga: Cek Harga Pangan di Pasar Kemuning Pontianak, Presiden Jokowi Pastikan Inflasi Terkendali
Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddy Hiariej menjelaskan, DPR sebelumnya telah memberikan sejumlah masukan terkait RKUHP yang tertuang dalam daftar inventarisasi masalah (DIM).
Menurut Eddy, beberapa poin dalam DIM telah melalui proses diskusi antara pemerintah dan DPR, serta telah disetujui dalam persetujuan tingkat pertama untuk dimasukkan dalam RKUHP.
“Teman-teman ICJR yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil itu aktif sekali melakukan diskusi dengan kami tim pemerintah, maupun dengan fraksi-fraksi di DPR, sehingga ada beberapa item yang kemudian kita masukkan dalam RKUHP dan kemudian itu telah disetujui dalam persetujuan tingkat pertama,” kata Wamenkumham.
Eddy menjelaskan, sejumlah poin yang telah dibahas dan mengalami perubahan yaitu mulai dari hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law, pidana mati, hingga pencemaran nama baik.
Eddy mencontohkan, seperti terkait pidana mati, dalam RKUHP yang baru, pidana mati dijatuhkan secara alternatif dengan adanya masa percobaan.
“Artinya, hakim tidak bisa langsung menjatuhkan pidana mati, tetapi pidana mati itu dengan percobaan 10 tahun. Jika dalam jangka waktu 10 tahun terpidana berkelakuan baik, maka pidana mati itu diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana 20 tahun,” jelasnya.
Kemudian, pemerintah juga menambahkan pasal 240 RKUHP terkait penghinaan terhadap pemerintah dengan sejumlah pembatasan, yaitu pada lembaga kepresidenan, sedangkan penghinaan terhadap lembaga negara hanya terbatas pada lembaga legislatif yaitu DPR, MPR, dan DPD, serta lembaga yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
“Baik dalam penjelasan pasal yang berkaitan dengan penyerahan harkat dan martabat Presiden, maupun penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara, kami memberikan penjelasan seketat mungkin yang membedakan antara penghinaan dan kritik,” papar Eddy.
Baca Juga: Presiden Jokowi: Keberagaman Suku Merupakan Kekuatan Besar Indonesia
Dalam RKUHP tersebut, pemerintah juga menghapus pasal terkait pencemaran nama baik dan penghinaan yang tertuang dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang diharapkan dapat meminimalisasi disparitas putusan.
“Untuk tidak terjadi disparitas dan tidak ada gap maka ketentuan-ketentuan di dalam undang-undang ITE itu kami masukkan dalam RKUHP, tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian, dengan sendiri mencabut ketentuan-ketentuan pidana khususnya pasal 27 dan pasal 28 yang ada dalam undang-undang ITE,” tandasnya.
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News.