Sonora.ID - Mengutip dari pernyataan Suko Prayitno Adi, Deputi Bidang Geofisika BMKG, hingga Rabu sore (23/11), tercatat telah terjadi 171 gempa susulan di Cianjur setelah sebelumnya terjadi gempa dengan kekuatan 5,6 magnitudo pada Senin (21/11), yang terasa hingga kawasan Jabodetabek.
Gempa bumi ini diperkirakan merupakan gempa tektonik yang dipengaruhi oleh adanya pergerakan sesar Cimandiri.
Berdasarkan studi dari Pusat Gempa Nasional, sesar Cimandiri terbentang dari teluk Pelabuhan Ratu hingga Tangkuban Perahu.
Sejarah mencatat setidaknya telah terjadi tiga kali gempa berkekuatan hingga 5,5 magnitudo sejak tahun 1982.
Melihat besarnya potensi bahaya tektonik yang terdapat di wilayah Jawa Barat, Soni Satiawan, M.Sc selaku dosen Program Studi Teknik Geofisika bersama mahasiswa Universitas Pertamina melakukan pemetaan potensi bencana alam dan sosialisasi kepada masyarakat di wilayah Ciletuh-Pelabuhan Ratu Geopark.
“Kawasan Ciletuh-Pelabuhan Ratu Geopark merupakan situs geologi dengan konsep perlindungan, pendidikan, dan pembangunan berkelanjutan. Meskipun memiliki potensi wisata yang cukup besar, namun karena terletak tepat di zona subduksi Jawa Barat bagian selatan dan sesar Cimandiri, kawasan ini juga memiliki potensi bencana alam,” jelas Soni.
Secara geografis, Pulau Jawa bagian selatan terletak di zona subduksi atau zona pertemuan antara lempeng samudera dan lempeng benua.
Akibat adanya perbedaan massa jenis, Soni menambahkan, pertemuan lempeng samudera dan lempeng benua akan lebih sering menghasilkan pergerakan dan menyebabkan patahan. Sesar Cimandiri merupakan patahan yang paling dekat dengan zona subduksi.
Melalui kegiatan kuliah lapangan, mahasiswa berkesempatan melakukan observasi visual bebatuan dan pengukuran terhadap pergerakan bawah tanah di Geyser Cisolok.
Kegiatan pengukuran ini menggunakan instrumentasi yang dimiliki program studi, yakni menggunakan metode magnetik, resistivitas dan polarisasi terimbas (IP), ground penetrating radar (GPR), metode seismik refraksi, metode pasif seismik, dan GPS Geodetik.
Melalui metode tersebut, didapatkan nilai indeks kerentanan tanah di Desa Cisolok dan sekitarnya. Menurut Muhammad Fajar Rahmani, salah satu mahasiswa peserta kuliah lapangan, indeks kerentanan tanah di sekitar Desa Cisolok berbeda-beda.
“Terdapat beberapa titik yang indeks kerentanannya tinggi. Sehingga hasil interpretasi kami, jika terjadi gempa bumi, titik-titik tersebut diperkirakan memiliki tingkat kerusakan yang cukup parah,” ungkapnya.
Salah satu parameter yang digunakan untuk menilai indeks kerentanan tanah adalah jenis batuan yang tersusun di daerah setempat.
Fajar melanjutkan, jenis batuan yang terdapat di wilayah Cisolok bervariasi mulai dari batuan solid hingga batuan lunak.
Hal ini menjadi pertanda bahwa Cisolok berada di zona berpotensi bencana.
“Semakin tua umur batuan, strukturnya akan semakin kompak dan solid. Artinya, daerah yang tersusun dari batuan yang solid akan relatif aman untuk dijadikan pemukiman. Tapi pada batuan yang lebih muda, yang strukturnya lunak, ketika ada guncangan dia akan lebih mudah untuk hancur,” ujar Fajar.
Hasil penelitian yang telah didapatkan dari kuliah lapangan kemudian didiseminasikan kepada guru, siswa beserta orang tua siswa di SMAN 1 Cisolok.
Pada kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini, perwakilan dosen dan mahasiswa Program Studi Teknik Geofisika menyampaikan informasi bahwa setiap area di Cisolok dan sekitarnya memiliki kerawanan yang berbeda-beda.
Adapun potensi bahaya yang berhasil terpetakan adalah tanah longsor.
“Mitigasi yang bisa dilakukan oleh masyarakat sekitar adalah dengan mengetahui titik-titik rawan bahaya dan titik yang stabil. Sehingga jika bencana terjadi, masyarakat bisa mengetahui area mana yang aman untuk evakuasi. Selain itu, kami juga membagikan peralatan darurat gempa bumi seperti kotak P3K, radio, tabung air minum, senter, serta survival tools lainnya,” pungkas Soni.