Jayapura, Sonora.Id - Ketua Dewan Adat Suku (DAS) Wilayah Tabi, Daniel Toto mengungkapkan, Gubernur Papua Lukas Enembe beberapa waktu lalu telah melakukan beberapa tugas di lingkungan Pemerintahan Provinsi (Pemprov) Papua. Namun dalam beberapa hari ini, media memberitakan adanya permintaan tim kuasa hukum Lukas agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengizinkan kliennya berobat ke Singapura.
Karena itu, mantan Anggota DPRD Kabupaten Jayapura ini meminta lembaga antirasuah itu membuka ke publik hasil pemeriksaan terhadap Lukas Enembe yang dilakukan tim dokter independen dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang mendampingi tim penyidik KPK di rumah kediaman Lukas di Jayapura awal November lalu.
“Pesan saya, KPK tidak tebang pilih dalam kasus yang terjadi pada Gubernur Papua, bahkan antek-anteknya di lingkup dia (Lukas Enembe). Kalau beliau sakit, ternyata tidak seperti apa yang kita lihat, dia sudah melaksanakan berbagai kegiatan pemerintahan. Secara logika, secara sadar bahwa gubernur tidak sakit. Seharusnya sudah ada panggilan ketiga karena yang bersangkutan sehat, karena sudah melaksanakan tugas pemerintahan,” kata Daniel.
Diketahui, tim penyidik KPK, dokter KPK, dan dokter independen IDI telah memeriksa Gubernur Papua di rumah kediamannya di Koya Tengah, Kota Jayapura, Papua, pada 3 November 2022. Namun hasil pemeriksaan tersebut hingga kini belum diumumkan ke publik, baik hasil pemeriksaan kesehatan Lukas, maupun hasil pemeriksaan tim penyidik KPK terhadap Lukas selaku tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait proyek yang bersumber dari APBD Provinsi Papua.
Menurut Daniel, seorang tersangka kasus korupsi mestinya ditahan. Tetapi dirinya bisa memahami KPK tidak menahan Lukas karena alasan kesehatan.
“Dipakai alasan kesehatannya tapi ternyata lewat beberapa waktu dia melakukan aktivitas pemerintahan. Berarti kita bilang bahwa itu orangnya sehat. Dengan demikian, apa lagi yang KPK tunggu, kan orangnya sudah sehat,” imbuh Daniel.
Daniel juga menyebutkan, masih banyak kasus korupsi di Papua yang belum ditangani secara serius oleh penegak hukum. Hal ini, menurut Daniel bisa menjadi preseden buruk, dan justru membuka bagi para pejabat daerah di Papua dan kroni-kroninya semakin leluasa menyelewengkan anggaran pembangunan.
“Kasus Lukas Enembe itu terang benderang di mata masyarakat, bahkan masyarakat awam pun mengetahui bahwa benar-benar ada terjadi satu tindakan penyalahgunaan keuangan daerah. Di mana keuangan daerah (seyogyanya) dipakai untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, tetapi kalau kita amati dengan baik, keuangan daerah tidak dipakai sesuai dengan peruntukannya,” ungkap Daniel.
Daniel meminta KPK lebih serius mendalami kasus-kasus penyimpangan penggunaan anggaran pembangunan di wilayah Papua. Karena, lanjut Daniel, sudah menjadi perbincangan publik bahwa program Otonomi Khusus (Otsus) Papua selama 20 tahun (Otsus jilid satu) gagal. Salah satu penyebabnya adalah perilaku koruptif di kalangan para pejabat daerah yang mengelola dana Otsus tersebut.
“KPK harus serius untuk menangani persoalan ini. Tidak ada orang yang kebal hukum di Indonesia, semua punya hak yang sama. Kalau sampai dengan KPK akhir-akhir ini, kelihatannya mulai diam-diam, ini kami sebagai masyarakat muncul pertanyaan ada apa yang terjadi di KPK, apakah KPK kemasukan angin,” kata Daniel.