Find Us On Social Media :
Siaran pers dan foto : Edy Wuryanto Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Dapil Jawa Tengah III ()

Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto Minta Perbaikan Kepesertaan BPJS Kesehatan

Saortua Marbun - Rabu, 5 April 2023 | 13:39 WIB

Sonora.ID - Komisi IX DPR RI melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan Direksi dan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan.
 
Dalam kesempatan itu Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengungkapkan cakupan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hingga periode 31 Desember 2022 ada 248,77 juta jiwa atau 90,34 persen dari seluruh rakyat Indonesia.
 
Jika dirinci menurut jenis kepesertaan, yakni PPU-S 17 persen, BP N&S 2 persen, PBI JK 39 persen, PBPU 18 persen, PD Pemda 16 persen, dan PPU-N 8 persen. 
 
Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto mengingatkan data riil jumlah peserta yang aktif dalam JKN sangat diperlukan. BPJS Kesehatan harus memastikan berapa banyak yang tidak lagi menjadi peserta JKN.
 
Ini untuk mengetahui seberapa banyak masyarakat yang mendapatkan jaminan kesehatan nasional.
 
Jika melihat data Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pada Agustus 2022, ada 16.375.266 peserta dari PBPU atau pekerja informal yang sudah tidak aktif.
 
Selanjutnya yang tidak aktif pada sekmen PBI ada 17.268.846 orang dan PPU Badan Usaha ada 8.362.471 orang. 
 
Baca Juga: Cara Mengurus Kartu BPJS Hilang, Terbaru Bisa Online atau Offline
 
“Jumlah ini cukup besar dan harus diketahui perkembangannya setidaknya sampai Maret,” ujar Edy. 
 
Legiselator dari Dapil Jawa Tengah III itu meminta agar mereka yang tidak menjadi peserta JKN dapat terinformasi. Terutama pada sekmen PBI yang dibayarkan oleh pemerintah. Pada sekmen ini, iuran peserta ditanggung oleh pemerintah.
 
“Jangan sampai ketika sudah tidak menjadi peserta PBI tidak tahu. Lalu ketika membutuhkan untuk berobat ternyata KIS-nya tidak laku,” kata Edy.  
 
Masalah penonaktifkan peserta JKN ini harus disertai dengan komunikasi yang baik.
 
Edy menyarankan agar peserta JKN yang berisiko dinonaktifkan baiknya diberi tahu.
 
Entah melalui surat secara fisik atau bisa juga lewat surel. 
 
Khusus PBI, BPJS Kesehatan baiknya berkomunikasi dengan intensif dengan Kementerian Sosial.
 
Sejauh ini, Kemensos yang mengusulkan masyarakat akan dibiayai pemerintah melalui program PBI atau dinonaktifkan karena dianggap telah mampu.
 
Baca Juga: Terdampak TPAS, Warga Tanggan Sragen Baru Dapat Jaminan Kesehata 
 
 “Ini adalah masalah komunikasi. Peserta JKN ini berhak tahu kondisi kepesertaannya,” kata Edy. 
 
Politisi PDI Perjuangan itu prihatin kondisi masyarakat miskin yang menjadi peserta sekmen PBI APBN atau APBD. Mereka kerap jadi korban penonaktifan sepihak.
 
Tidak adanya informasi membuat peserta tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan. Bisa jadi saat menjadi peserta, masyarakat miskin tersebut belum menggunakan manfaan JKN.
 
Namun setelahnya, ketika sakit, bisa saja dia berharap akan mendapatkan layanan kesehatan karena sudah dibiayai pemerintah.
 
“Banyak dari mereka tahu kalau tidak jadi peserta justru saat sakit,” kata Edy. 
 
Pada RDP tersebut, dipaparkan juga capaian kolektibilitas iuran persekmen. Pada sekmen PBI jaminan kesehatan (JK) atau PBI APBN tidak sesuai dengan kuota.
 
Untuk PBI JK targetnya  96,8 juta jiwa dengan total penerimaan iuran Rp 48,78 triliun. Namun pada paparan Dirut BPJS Kesehatan hanya Rp 43,64 triliun.
 
Dengan jumlah ini, artinya hanya 86,6 juta orang yang menjadi peserta sekmen PBI JK. 
 
“Ada 10 juta orang miskin yang belum didaftarkan sebagai peserta JKN,” kata Edy. Dengan kata lain kuota 96,8 juta jiwa peserta PBI JK tidak tercapai. 10 juta kuota yang masih belum terisi ini harus segera terisi. Sebab masyarakat miskin yang belum bisa mengakses program JKN masih banyak.  
 
Baca Juga: Pemkot Yogyakarta Berhasil Pertahankan UHC 6 Tahun Berturut-Turut

Salah satu alasan pemerintah dalam menonaktifan peserta PBI adalah NIK tidak sesuai. Dari pemaparan  ada 267.308 orang atau hanya 0,11 persen yang NIK-nya belum sesuai.
 
Dari jumlah tersebut 203.713 orang yang nonaktif. Menurut Edy masyarakat miskin yang mengalami masalah NIK bukanlah salah mereka.
 
Ada masalah yang mungkin sistematis sehingga mereka tak punya NIK.  
 
Yang juga perlu dicermati juga, peserta mandiri atau PBPU yang jumlah kolektibilitas iurannya paling sedikit. Yakni hanya Rp 12,31 triliun atau hanya 91,61 persen dari pendapatan yang ditargetkan.
 
Edy mencurigai banyak peserta yang tidak mampu bayar. Sehingga harus ada kebijakan yang mendukung masyarakat mampu membayar iuran kembali. 
 
“Kita harus membuka peluang agar masyarakat yang terjamin JKN ini makin luas,” ungkapnya. 
 
Baca Juga: Korban Lakalantas Bisa Ditanggung BPJS Kesehatan loh, Simak Penjelasannya