Sonora.ID - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengecam keras terjadinya tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) yang dilakukan oleh seorang ayah kandung terhadap anak perempuannya di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Kejadian ini telah berlangsung selama 4 (empat) tahun sejak 2019.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar menegaskan terjadinya kasus TPKS yang dilakukan oleh keluarga terdekat korban perlu menjadi perhatian serius karena keluarga seharusnya menjadi tempat aman dan berperan utama dalam memberikan perlindungan kepada anak.
“Kami sangat menyayangkan terjadinya TPKS berupa persetubuhan terhadap korban anak perempuan yang masih berusia 14 tahun oleh terduga pelaku yang merupakan ayah kandung korban itu sendiri. Terlebih, tindakan asusila tersebut telah berlangsung selama 4 (empat) tahun dan ditemukan adanya indikasi pengancaman yang dilakukan oleh terduga pelaku terhadap korban untuk tidak memberitahukan hal yang menimpa korban kepada orang lain,” tutur Nahar dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (4/5).
Nahar menuturkan pihaknya melalui Tim Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 telah melakukan koordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Sidoarjo terkait proses pendampingan psikologis dan hukum bagi korban.
Melalui koordinasi didapatkan informasi bahwa terungkapnya kasus TPKS tersebut berawal dari kaburnya korban dan bertemu dengan perangkat desa pada 11 Februari 2023 silam.
Korban mengakui terduga pelaku melancarkan aksi bejatnya pertama kali pada 2019 di mana korban disetubuhi ketika sedang tertidur dan terduga pelaku mengancam korban untuk merahasiakan apa yang dialaminya.
Perangkat desa kemudian melaporkan kejadian yang menimpa korban ke UPTD PPA Kabupaten Sidoarjo.
Setelah mendapatkan laporan tersebut, tim dari UPTD PPA Kabupaten Sidoarjo segera melakukan pendampingan secara hukum dan asesmen psikologis terhadap korban.
Terduga pelaku berhasil ditangkap dan ditahan di Polresta Sidoarjo. Saat ini, korban telah ditempatkan terpisah karena korban hanya tinggal berdua dengan terduga pelaku di rumah kost.
“UPTD PPA Kabupaten Sidoarjo telah bergerak cepat dan mendampingi korban selama proses asesmen psikologis berlangsung. Dari hasil asesmen tersebut, korban tampak tidak menunjukkan trauma akibat peristiwa yang menimpanya. Meskipun demikian, kami akan terus melakukan segala bentuk pendampingan yang sekiranya dibutuhkan oleh korban dan diperlukan asesmen lebih lanjut untuk mengetahui kondisi korban serta meminimalisasi munculnya dampak psikologis jangka menengah dan panjang, seperti munculnya rasa cemas, depresi, pemikiran negatif, ataupun perasaan rendah diri,” ujar Nahar.
Lebih lanjut, Nahar menjelaskan adanya berbagai macam faktor yang dapat menyebabkan terduga pelaku melakukan tindak kekerasan seksual kepada korban yang merupakan anak kandungnya.
Selain adanya ketimpangan relasi kuasa antara terduga pelaku dan korban, adapun sumber stressor berasal dari kematian istri terduga pelaku yang membuatnya kehilangan figur untuk menyalurkan kebutuhannya secara seksual.
Korban pun kehilangan figur ibu yang kerap memberikan perlindungan. Tidak hanya itu, kondisi tempat tinggal korban yang hanya tinggal berdua dengan terduga pelaku di sebuah kamar kost pun menjadi faktor pemicu tambahan yang berasal dari keterbatasan ruang privasi antara anak remaja dengan orang tuanya.
“Karena faktor-faktor itulah, maka saat ini korban ditempatkan di lokasi terpisah dengan pelaku, mengingat juga keluarga terdekat korban nampak keberatan untuk mengasuh korban. Hal tersebut sangat disayangkan karena keluarga berperan utama dalam perlindungan anak. Namun, penempatan korban di tempat khusus dan terpisah ini diharapkan dapat membantu pemulihan kondisi korban karena lingkungan yang suportif dapat menjadi salah satu faktor pendukung untuk mempersiapkan kondisi anak korban kembali berfungsi secara optimal di lingkungan sosialnya,” ungkap Nahar.
Nahar menegaskan atas tindakan terduga pelaku yang melakukan persetubuhan dan pencabulan terhadap korban, terduga pelaku dapat dijerat dengan Pasal 76D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, maka ancaman hukumannya diatur dalam Pasal 81 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan ditambah 1/3 (sepertiga) atau menjadi 20 (dua puluh) tahun.
Nahar mengharapkan penegakan hukum secara tegas terhadap kasus TPKS dapat mencegah dan menurunkan terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.
Dalam kesempatan tersebut, Nahar pun mengingatkan dan mengajak semua masyarakat yang mengalami, mendengar, ataupun melihat terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak untuk berani dan segera melapor kepada pihak yang berwajib atau melalui layanan pengaduan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 yang dapat diakses melalui hotline 129 atau WhatsApp 08111-129-129.