Find Us On Social Media :
Mengapa Implementasi Jaminan Produk Halal (JPH) Sangat Penting? (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) )

Mengapa Implementasi Jaminan Produk Halal (JPH) Sangat Penting?

Liliek Setyowibowo - Jumat, 16 Juni 2023 | 10:35 WIB
 
Jakarta, Sonora.ID - Beberapa hari ini media sosial diramaikan dengan kejadian seorang konsumen muslim yang mengungkapkan ia telah menyantap makanan berbahan daging babi di sebuah resto di Jakarta.
 
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama pun langsung meresponnya dengan mengirim tim pengawasannya ke lokasi.
 
Didapati, Restoran Mamma Rosy di Jl Kemang Raya Jakarta ternyata tidak memiliki sertifikat halal, dan tidak terdaftar pada Sihalal yang merupakan sistem layanan sertifikasi halal BPJPH. Pada daftar menu, resto tersebut menjual makanan non-halal dan minuman beralkohol.

Kepala BPJPH Muhammad Aqil Irham mengatakan, kejadian tersebut membuktikan pentingnya implementasi Jaminan Produk Halal (JPH) di tengah masyarakat.

 
Menurutnya, regulasi JPH telah dengan jelas memberikan aturan sehingga status kehalalan suatu produk yang beredar dan diperdagangkan di tengah masyarakat dapat dengan mudah dipastikan. Aqil juga mengatakan bahwa kejadian tersebut memberikan pelajaran berharga, baik bagi produsen maupun konsumen.

Baca Juga: Indonesia Halal Vending Machine Pertama di Jepang Resmi Diluncurkan
 
"Konsumen Muslim hendaknya memastikan terlebih dahulu status kehalalan produk yang akan dikonsumsi. Caranya, dengan memastikan apakah produk yang akan dikonsumsi tersebut sudah bersertifikat halal ataukah belum." kata Aqil, Kamis (15/6/2023).

Ia pun menambahkan, "Tetapi, jika memang produk berasal dari bahan non-halal, tentu dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal. Di situlah pentingnya pelaku usaha wajib memberikan keterangan tidak halal pada produk non-halal." 


Sesuai ketentuan PP Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, lanjutnya, Pasal 2 mengatur bahwa produk yang berasal dari bahan yang diharamkan dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal.

"Produk non-halal tersebut wajib diberikan keterangan tidak halal." kata Aqil.

Keterangan tidak halal tersebut, sesuai ketentuan pada Pasal 92, dapat berupa gambar, tanda, dan/atau tulisan yang dicantumkan pada kemasan produk, bagian tertentu dari produk, dan/atau tempat tertentu pada produk.

Sedangkan Pasal 93 menyebutkan bahwa produk yang berasal dari bahan yang diharamkan wajib mencantumkan keterangan tidak halal berupa gambar, tulisan, dan/atau nama bahan dengan warna yang berbeda pada komposisi bahan.

"Pencantuman keterangan tidak halal harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -undangan." lanjutnya.

Lebih lanjut, Aqil juga mengatakan bahwa pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar terkait status kehalalan produknya. Sebab, terdapat ancaman sanksi jika hal itu dilanggar.

"Negara kita memiliki Undang-undang Jaminan Produk Halal dan juga Undang-undang Perlindungan Konsumen. Semuanya wajib kita taati." tegas Aqil.

Pasal 149 PP tersebut, lanjutnya, menyatakan bahwa pelanggaran terhadap penyelenggaraan jaminan produk halal dikenakan sanksi administratif bagi pelaku usaha, mulai dari peringatan tertulis, denda, pencabutan sertifikat halal, dan/atau penarikan barang dari peredaran.

"Pemberlakuan sanksi ini akan secara efektif diterapkan sejak diberlakukannya kewajiban bersertifikat halal yang akan dimulai pada Oktober 2024 mendatang. Namun kami himbau agar pelaku usaha bersegera melaksanakan apa-apa yang menjadi kewajibannya sesuai regulasi yang berlaku." pungkasnya.

 
Baca Juga: Gubernur Ingin Perbankan dan BUMDes Bekerjasama Percepat Inklusi