Sonora.ID - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) akan terus mengawal dan memantau perkembangan ini untuk memastikan terpenuhinya hak-hak anak yang terlibat.
Plh. Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Rini Handayani menegaskan pihaknya akan melakukan pemantauan terhadap proses yang berjalan saat ini untuk memastikan prosesnya berjalan dengan memenuhi kepentingan terbaik bagi anak.
“Kami bersama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi akan terus memantau dan memberikan pendampingan kepada pihak sekolah dan anak-anak yang terlibat agar dalam prosesnya tetap mengacu pada kepentingan terbaik bagi anak, baik anak sebagai korban maupun anak sebagai terlapor. Keduanya, merupakan anak yang harus dilindungi dan dipenuhi haknya dalam keadaan apapun terutama dalam kondisi khusus seperti saat ini. Untuk itu, kami juga menekankan agar pihak sekolah juga tetap memberikan hak pendidikan bagi anak terlapor yang saat ini masih dalam proses penyidikan oleh pihak kepolisian,” ujar Rini dalam pertemuan terbatas dengan pihah Sekolah (26/02).
Terkait dengan regulasi, Rini menegaskan perlu ada persetujuan dari kedua belah pihak yakni orangtua/wali dan pihak sekolah terkait peraturan yang sangat ketat, juga memastikan apakah peraturan tersebut sudah memiliki keberpihakan kepada kepentingan terbaik bagi anak. Oleh karena itu, kehadiran kami bersama Kemendikbudristek ini untuk memberikan pengawalan serta memfasilitasi antara kebutuhan dari semua pihak yang terkait.
“Kami tentunya menghargai apa yang telah dilakukan oleh pihak sekolah dalam hal penanganan kasus bullying yang terjadi. Namun rasanya perlu perhatian terhadap anak terlapor khususnya dalam hal hak mendapatkan pendidikan hingga mereka lulus SMA. Selain itu, memastikan baik anak terlapor maupun anak korban tidak mendapatkan trauma berkepanjangan juga menjadi prioritas kami,” ungkap Rini.
Di kesempatan yang sama, IInspektur Jenderal Kemendikbudristek, Chatarina Muliana Girsang mengatakan kiranya dalam menyelesaikan semua masalah harus dari berbagai perspektif, termasuk masalah perundungan atau bullying yang terjadi di satuan Pendidikan.
Bullying juga masuk dalam salah satu dari tiga dosa besar di dunia pendidikan yakni kekerasan seksual, perundungan/kekerasan, dan intoleransi.
Oleh karena itu, kita perlu memberikan perhatian khusus dalam kasus bullying ini, namun dengan tetap melihat dari perspektif kepentingan terbaik bagi anak.
“Kami tentunya, mengapresiasi upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pihak Sekolah terhadap kasus bullying yang menjadi viral di media sosial ini. Namun dalam penanganannya, harus tetap mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak, baik anak korban maupun anak terlapor. Kita harus tetap memastikan keduanya bisa kembali mendapatkan haknya untuk masa depan mereka, termasuk hak Pendidikan. Oleh karena itu, kedatangan kami kesini untuk dapat memfasilitasi dan memastikan hak tersebut bisa tetap didapatkan oleh kedua belah pihak,” ujar Chatarina.
Chatarina menegaskan memberikan perlindungan pada anak dan menyiapkan mereka untuk kembali menata masa depan mereka adalah kewajiban bagi kita semua untuk memastikan hal tersebut.
Proses hukum biarkan tetap berjalan, namun kami harus juga akan memberikan pendampingan terkait hak-hak anak korban dan anak pelaku anak terlapor. Chatarina menambahkan memberikan sanksi dengan mengeluarkan anak dari sekolah bukan satu-satunya cara untuk mencegah bullying kembali terjadi di masa depan.
Bagaimanapun kondisinya anak terlapor juga merupakan korban pada masa lalunya. Selain itu, penyelesaian kasus kekerasan atau bullying terhadap anak di sekolah, tidak hanya selesai sampai pemberian sanksi namun memastikan anak korban dan anak terlapor tidak mendapatkan stigma ataupun perundungan untuk ke depannya.
“Saya rasa mereka sudah mendapatkan konsekuensi dari perbuatan yang dilakukan dengan proses hukum yang saat ini sedang berjalan. Oleh karena itu, kami satu suara untuk memastikan anak terlapor ini tetap mendapatkan hak pendidikan mereka hingga lulus SMA. Banyak dampak yang akan terjadi pada anak saat mereka menjalankan proses hukum. Maka dari itu, ini menjadi tantangan bagi kita semua untuk dapat memastikan tidak ada kekerasan di satuan Pendidikan dengan regulasi yang telah ada saat ini melalui Permendikbud Ristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP),” imbuh Chatarina.
Melalui keterangan tertulis, SMA di Serpong menerapkan zero tolerance policy dan mengecam segala bentuk kekerasan baik di dalam maupun luar sekolah. Meskipun begitu, pihaknya mengakui bila insiden ini dialami oleh peserta didiknya dan terjadi di luar lingkungan sekolah. Dalam pertemuan terbatas ini Pihak sekolah cukup kooperatif, dan bersedia untuk memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan anak korban maupun anak terlapor terutama terkait dengan hak Pendidikan dan hak pendampingan proses hukum dan psikologis.