Sonora.ID - Koordinator Kelompok Kerja Pendidikan Inklusif, Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Meike Anastasia mengatakan program pendidikan inklusif memberi kesempatan bagi anak-anak penyandang disabilitas atau berkebutuhan khusus untuk bersekolah di sekolah formal.
Namun, tidak semua Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki regulasi dan akomodasi terkait pelayanan pendidikan yang layak bagi penyandang disabilitas.
Menurutnya, meski Kurikulum Merdeka sejalan dengan prinsip inklusivitas, tapi tidak banyak sekolah punya level pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak peyandang disabilitas.
"Pada Desember 2023, ada 40.164 sekolah formal yang punya peserta didik berkebutuhan khusus. Namun sayangnya, hanya 5.956 sekolah yang punya guru pembimbing khusus," tambah Meike.
Ia mengungkapkan keberadaan guru pembimbing khusus di sekolah formal yang menerima siswa berkebutuhan khusus itu sangat krusial.
Untuk itu, ditengah minimnya keberadaan guru pembimbing di sekolah formal, Kemendikbudristek mengadakan program pendidikan berjenjang inklusif.
"Tujuannya adalah menghasilkan pendidik yang punya keberpihakan pada pendidikan untuk semua, termasuk bagi anak berkebutuhan khusus," ungkapnya.
Meike lalu menjelaskan pada tingkat dasar program pendidikan pendidikan inklusif, guru belajar mandiri secara daring di Program Merdeka Mengajar (PMM).
Berikutnya, pada tingkat lanjut, guru dapat memfasilitas pembelajaran inklusif. Pada tingkat mahir, guru berperan sebagai konsultan.
“Pada akhirnya, program ini menjadi jembatan bagi kesenjangan antara peraturan yang sudah bagus, dengan kondisi riil di lapangan. Kita bisa mulai dari penyediaan guru pembimbing,” ujar Meike.
Dikatakan Meike, guru pembimbing khusus mempunyai kewenangan melakukan asesmen pada siswa yang ingin masuk sekolah formal.
Selain tugasnya membimbing pembelajaran inklusi di kelas, guru pembimbing juga harus mampu memberi advokasi bagi orang tua murid.
“Harus terjalin komunikasi yang baik antara sekolah dan orang tua terkait pembelajaran anak berkebutuhan khsus. Perantaranya adalah guru pembimbing khsus ini,” pungkas Meike.
Meski masih perlu banyak penanganan khusus, Meike merasa bersyukur karena masih ada sekolah-sekolah formal di berbagai provinsi yang dapat dibilang sukses menjalankan pendidikan inklusif.
Dia menyebut beberapa wilayah diantaranya Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, Bali, Jawa Timur bahkan NTT dan NTB yang punya sekolah formal dengan layanan inklusif yang baik.
“Sekolah-sekolah yang bisa menjalankan pendidikan inklusif dengan baik ini dapat menjadi role model bagi sekolah-sekolah lain,” tegas Meike.