Sonora.ID – Senyum simpul terlihat di wajah Hizkia Beta Sunarna (29) ketika mengamati komentar pengguna media sosial yang mengaku ngotot memilih untuk tidak membawa anaknya untuk diimunisasi.
Lebih menggelitik lagi, ketika ada komentar yang muncul berupa pengakuan kalau anak yang tidak divaksin tetap sehat alias tidak sakit-sakitan.
“Sempat ramai itu, di TikTok dan X belakangan ini. Kok bisa ya? Padahal imunisasi hak seorang anak. Kan kemarin lagi viral tuh yang masalah ibu-ibu posting anaknya nggak diimunisasi sehat, terus dikomentarnya juga pada belain, anak saya juga nggak diimunisasi juga sehat,” ujarnya saat berbincang dengan Sonora, Minggu (28/04/2024).
Meski demikian, Mas Hizkia, begitu panggilan kesehariannya, tetap pada pendiriannya. Ia menegaskan sebagai orangtua, punya kewajiban untuk memenuhi hak anak atas kesehatan.
Imunisasi bukan untuk orangtua tapi anak itu sendiri. Apalagi dalam masa tumbuh kembangnya, anak juga rentan dengan kemunculan berbagai macam penyakit yang bisa mengganggu kesehatan bahkan ancaman bagi masa depannya.
“Karena bagi saya imunisasi itu hak anak. Kita sebagai orangtua punya kewajiban untuk memenuhi hak anak. Jadi bukan untuk orangtua, tapi untuk kepentingan anaknya. Jadi penting, untuk kesehatan terutama nomor satu. Karena sekarang tuh banyak penyakit macam-macam, ada Polio, Hepatitis. Itu kita kalau sebagai orangtua tidak memenuhi hak dengan mengimunisasi anak, ya bahaya untuk anak kedepan,” ungkapnya
Keraguan atas imunisasi sebagian masyarakat bisa jadi akibat kurangnya pemahaman atas manfaat imunisasi bagi anak.
Efek samping seperti deman misalnya menjadi hal normal ketika tubuh menerima suntikan vaksin.
Hizkia menuturkan jika putrinya Hanessa (18 bulan) pernah mengalami panas dan rewel sehabis diimunisasi.
Namun, kondisi itu hanya berlangsung sesaat saja. Hari berikutnya, Hanessa sudah membaik.
“Kalau efek samping kan pasti ada, soalnya kan itu masukin virus dalam skala dosis rendah dalam tubuh. Jadi pasti ada namanya panas, rewel. Cuma nggak lama lah, sehari maksimal. Hari kedua sudah membaik. Paling itu sih efek sampingnya, Nggak sampai yang namanya ruam atau apa. Nggak ada sih. Kita siapin Paracetamol Drop aja untuk anak,” tutur Hizkia
Keraguan atas imunisasi, ungkap Hizkia, perlu ditinjau ulang oleh sebagian masyarakat yang menolaknya.
Menurut Hizkia, munculnya penyakit juga dipengaruhi faktor lainnya. Dengan kata lain, kesehatan anak juga ditopang dengan Pola Pengasuhan Anak dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) lingkup keluarga dan lingkungan dimana anak tinggal.
Selanjutnya, imunisasi akan menjadi pelengkap atau alat pertahanan (imunitas) diri bagi tubuh.
“Pengasuhan orang tua juga. Makannya sering telat apa nggak?, terus merawatnya dilingkungan yang seperti apa ? Terus teman-temannya kebiasaannya seperti apa ? Itu juga berpengaruh terhadap kesehatan anak. Jadi kalau temen-temennya jorok, anak kita bersih kan bisa juga jadi ketularan penyakit juga. Apalagi tidak diimunisasi, tambah kan!,” tambahnya
Saat ini, Hizkia mengaku bersyukur dengan bayi Hanessa Celesta Abigail (18 bulan) yang tumbuh sehat, aktif dan cerdas menjadi kebahagian tak ternilai buat ia dan istrinya Debby.
Waktu akhir pekan pun dimanfaatkan mereka dengan bermain ditaman alun-alun Taman Kota Depok yang tidak jauh dari kediamannya di Cilodong, Depok Jawa Barat.
Menurutnya, kesehatan putri pertamanya ini tidak lepas dari dukungan banyak pihak yang memberikan kemudahan akses vaksinasi bagi pemeliharaan kesehatan Hanessa.
“Bahkan istri saya punya nomer tenaga kesehatan di Puskesmas Kalimulya Depok. Jadi kalau sudah waktunya Hanessa divaksin, di hubungi. Seperhatian itu sebenernya ditempat saya. Nggak tahu ditempat lain. Ada nomer kontaknya dari Puskemas dan Nakes-nya sendiri,” akunya
Pendapat serupa disampaikan Yosia Meytri (34), ibunda bayi Joanna Ardhiyanti (7 bulan). Mey, begitu panggilannya, saat ini bekerja sebagai guru di Sekolah Global Mandiri Cibubur.
Sebagai ibu yang aktif kerja, Mey berpendapat sikap ragu sebagian ibu muda yang mendapati anaknya demam dan rewel diimunisasi terbilang aneh.
Demam memang efek samping yang biasa dialami pasca seorang anak diimunisasi.
Tapi, keluhan demam dan rewel hanya berlangsung satu hingga dua hari saja. Selepas itu, keadaan kembali membaik alias sehat-sehat saja.
“Aneh sih kalau tidak percaya dengan imunisasi. Soalnya kan sudah melalui penelitian. Masa sih tetap nggak percaya. Mungkin juga kalau lihat di Reels Instagram banyak juga, ada ibu-ibu yang nggak mau vaksin karena dia trauma anaknya demam setelah vaksin. Padahal itu kan, efek sampingnya saja. Ibu ini mungkin karena ibu baru juga, takut kali anaknya demam lagi jadi dia nggak nerusin vaksin yang kedua. Mungkin begitu alasannya,” ujar Mey
Mey mengaku peran serta keluarga termasuk dukungan dari suami menjadi penting dalam proses imunisasi.
Literasi yang baik atas pentingnya imunisasi juga datang dari orangtua Meytri yang ikut menjaga dan mendampingi bayi Jojo ketika dan setelah diimunisasi.
“Untungnya demamnya yang nggak tinggi begitu. Cuma sumeng aja dan rewel dikit. Mungkin kakinya sakit atau pegel. Jadi pakai kompres aja. Joanna ketika awal lahir itu dapat vaksin Hepatitis B. Pas satu bulan, BCG. Terus DPT, Polio, PCV dan Rotavirus. Dalam satu kali datang, empat vaksin. Dua melalui suntikan, dua melalui tetes,” ungkapnya
Akses mendapatkan layanan imunisasi juga terbilang mudah. Lewat fasilitas BPJS Kesehatan di tingkat 1 yakni Klinik Abadijaya Depok, Mey sangat terbantu mendapatkan layanan bagi anak tercintanya.
Dokter dan tenaga kesehatan yang bertugas juga informatif dalam memberi informasi jenis vaksin yang disuntikkan dan edukasi pertolongan pertama jika sang anak demam.
“Dikasih informasi, vaksin Rotavirus itu untuk apa? Nanti kalau misalnya demam, dokter menyarankan penggunaan paracetamol. Tapi saya nggak pernah pakai, karena demamnya tidak tinggi,” tegas Mey
Untuk yang belum dan masih ragu dengan imunisasi, Mey berharap keraguan itu mulai dihilangkan. Selain sudah diteliti dengan cermat, ketakutan atas efek samping atas vaksin yang disuntikkan hanya berlangsung sementara saja.
“Efeknya pun hanya demam saja, ya tiga hari, tidak sampai selamanya gitu. Masa sih nggak mau repot buat anak sendiri. Demi nanti, soalnya imunisasi kan untuk jangka panjang bukan jangka pendek. Gitu aja,” ujar Mei dengan yakin.
Kemenkes Ungkap Ada Lebih dari 1,8 Anak Indonesia Tidak Mendapat Imunisasi Rutin Lengkap
Faktor takut disuntik dua kali dan efek samping yang ditimbulkan ketika melakukan imunisasi muncul lewat temuan UNICEF dan AC Nielsen pada kuartal kedua tahun 2023.
Dalam sebuah acara Temu Media di Kantor Kementerian Kesehatan RI, pada 18 Maret 2024 lalu, Direktur Pengelolaan Imunisasi Kemenkes Prima Yosephine, mengungkapkan lebih dari 1,8 juta anak Indonesia tidak mendapat Imunisasi Rutin Lengkap selama 6 tahun terakhir, dari 2018 sampai 2023.
Akibatnya, beragam kasus dan Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) terjadi di beberapa daerah sepanjang 2023.
“Pada tahun 2023 banyak kasus dan KLB PD3I, yaitu campak rubella sebanyak 136 kasus, KLB difteri 103 kasus, kasus polio 8 kasus, kasus tetanus 14 kasus, dan pertusis atau batuk 100 hari sebanyak 149 kasus,” ujar Prima
Prima mengaku khawatir dengan situasi ini, terutama mengingat agenda imunisasi global seperti Eradikasi Polio dan eliminasi Campak Rubella pada 2026.
“Kalau keadaannya seperti ini terus tidak ada kemajuan di lapangan maka mungkin mimpi ini hanya akan jadi mimpi,” ucap Prima.
Prima lalu mengatakan, masih banyak anak yang belum diimunisasi karena beberapa alasan.
Menurut temuan UNICEF dan AC Nielsen pada kuartal kedua tahun 2023, sekitar 38 persen orang tua enggan melakukan imunisasi karena takut terhadap imunisasi ganda atau lebih dari satu suntikan.
Sementara itu, sekitar 12 persen mengaku khawatir terhadap efek samping vaksin. Kekhawatiran ini didukung oleh 40 persen dari total responden yang menolak memberikan imunisasi pada anak mereka.
“Imunisasi ganda sudah terjadi di banyak negara dan ini cukup aman. Sebenarnya mereka ini tidak maunya bukan karena sudah punya pengalaman sendiri, tetapi karena dengar dari orang lain,” tutur Prima.
Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Prof. Hartono Gunardi menekankan perlunya imunisasi kejar untuk melengkapi imunisasi yang tertunda pada anak-anak.
Ia menambahkan, dalam pelaksanaanya, imunisasi kejar bisa dilakukan dalam dua cara, yakni memberikan imunisasi tanpa harus diulang dari awal atau melakukan program suntikan ganda yang telah terbukti aman dan efektif.
“Tidak ada imunisasi yang hangus, jadi yang belum dapat tinggal dilanjutkan saja,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Komnas Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (KIPI) Prof Hindra Irawan Satari menegaskan, Indonesia telah memiliki pengalaman panjang dalam melakukan program imunisasi pada anak.
Indonesia telah memberikan 450 juta suntikan imunisasi terhadap 5 juta anak yang lahir setiap tahunnya.
“Kita telah melakukan imunisasi, bukan lagi ribuan atau puluhan ribu, tapi jutaan, tingkat pelaporan efeknya masih rendah dibanding negara lain. Artinya, imunisasi itu aman,” tegasnya.
Dia menambahkan, keamanan ini tidak hanya terjadi pada suntikan tunggal, tetapi juga suntikan ganda. Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan angka kejadian KIPI atau reaksi samping pasca-imunisasi yang signifikan.
“KIPI memang ada, ada yang serius ada juga yang ringan tapi jumlahnya sangat rendah,” ujar Hindra.
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News
Baca Juga: Kader PKK Bergerak Genjot Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap di Sulsel