Find Us On Social Media :
Ketua APINDO Jabar Ning Wahyu Astutik / Gun ()

APINDO Jabar Sebut UU FSHPK Perlu Ditinjau Ulang

Indra Gunawan - Jumat, 7 Juni 2024 | 14:35 WIB
 
Bandung, Sonora.ID - Menyikapi Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (RUU-FSHPK) terkait aturan cuti bagi ibu hamil hingga enam bulan, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Jawa Barat menilai perlu adanya kejelasan dari aturan tersebut.
 
"Perlu ada kejelasan dari aturan itu. Ini penting karena menyangkut produktivitas kerja dan hak pekerja,"  tegas Ketua APINDO Jabar Ning Wahyu Astutik, dalam keterangan resminya, Jumat (7/6/2024).
 
Diketahui Undang-undang tersebut sudah disahkan oleh DPR pada Selasa 4 Juni 2024 lalu. Undang undang tersebut mengatur ketentuan cuti bagi Ibu hamil dan suami yang mendampingi istri selama masa persalinan.
 
Dalam Undang-undang tersebut disebutkan, cuti melahirkan dengan ketentuan paling singkat tiga bulan pertama, dan paling lama tiga bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
 
Kemudian, kewajiban suami untuk mendampingi istri selama masa persalinan dengan pemberian hak cuti selama 2 hari dan dapat diberikan tambahan 3 hari berikutnya atau sesuai kesepakatan pemberi kerja.
 
Terkait hal ini, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Jawa Barat (Jabar) merasa perlu adanya kejelasan dari pemerintah mengenai indikator “kondisi khusus” yang tertera pada Undang-undang tersebut agar tidak multitafsir dalam penerapannya, termasuk di dalamnya pengaturan tentang dokter spesialis yang menjadi rujukan bagi Ibu hamil atau melahirkan.
 
"Secara umum, Kami mendukung upaya pemerintah dalam menjamin kesejahteraan ibu dan anak, terutama pada seribu hari pertama kehidupan, karena ini sejalan dengan program APINDO Nasional dalam berpatisipasi menurunkan prevalensi stunting," ucap Ning.
 
Baca Juga: Pipa PDAM Kota Bandung Jebol, Pj Gubernur Jabar Langsung Tinjau Lokasi 
 
Selain itu, lanjut Ning, UU KIA FSHKP berpotensi menambah beban baru bagi dunia usaha, khususnya yang masih dalam skala kecil, di mana perusahaan diwajibkan untuk membayarkan gaji pekerja yang cuti hamil secara penuh di empat bulan pertama kemudian 75% gaji untuk bulan kelima dan keenam.
 
"Ini berarti perusahaan mungkin perlu merekrut dan melatih pekerja baru untuk menggantikan pekerja yang sedang cuti, yang dapat menimbulkan biaya tambahan," kata Ning.
 
Ning mengemukakan, APINDO Jabar berpandangan bahwa UU KIA FSHKP dapat berdampak pada produktivitas tenaga kerja, baik nasional maupun di Jabar. 
 
"Indonesia saat ini masih menghadapi masalah rendahnya tingkat produktivitas di mana berdasarkan Human Capital Index tahun 2022, Indonesia berada di peringkat 96 dari 174 negara," ungkap Ning.
 
"Sedangkan secara nasional, berdasarkan data BPS tingkat produktivitas Jabar pada 2022 sangat rendah, yakni peringkat ke-22 dari seluruh provinsi di Indonesia," imbuhnya.
 
Selain itu, kata Ning, Tingkat Partispasi Angkatan Kerja (TPAK) Jabar juga masih rendah. Pada 2023, TPAK Perempuan 47,98% yang jauh lebih kecil dari pada laki-laki yang mencapai angka 84,63%. 
 
"Disahkannya Undang-Undang ini dikhawatirkan memperkecil kesempatan bagi perempuan untuk bekerja dikarenakan dapat menurunkan tingkat produktivitas pada perusahaan," kata Ning.
 
Untuk itu, APINDO Jabar berpandangan, perlu adanya dialog sosial yang efektif antara pekerja dan pengusaha sehingga tetap tercipta perlindungan pekerja perempuan dan juga keberlangsungan dunia usaha, serta kebijakan mengenai cuti hamil atau melahirkan yang sudah disepakati di dalam Peraturan Perusahaan (PP) / Peraturan Kerja Bersama (PKB) di perusahaan 
masing-masing agar tetap menjadi acuan bersama sepanjang belum diubah.
 
Baca Juga: Jaga Ketersediaan Beras, BULOG Jabar Serap Beras Petani Ratusan Ribu Ton