Find Us On Social Media :
Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. (KOMPAS.com/Vitorio Mantalean)

KMPKP: KPU Harus Serius Berbenah Hadirkan Pemilu Inklusif, Aman, dan Bebas dari Kekerasan Terhadap Perempuan

Liliek Setyowibowo - Jumat, 5 Juli 2024 | 12:28 WIB

Sonora.ID - Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (KMPKP) mengapresiasi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) atas putusan tegasnya memberhentikan Hasyim Asyari sebagai ketua dan anggota KPU periode 2022-2027 karena terbukti melakukan tindakan asusila serta menyalahgunakan jabatan, wewenang, dan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.

Sanksi pemberhentian tetap menurut KMPKP adalah keputusan terbaik untuk menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan menjadi pesan yang tegas bahwa tidak ada ruang ataupun toleransi bagi pelaku untuk menjadi bagian dari penyelenggara pemilu di Indonesia.

Dalam Putusan Nomor 90-PKE-DKPP/V/2024, terbukti bahwa terdapat relasi kuasa antara Pengadu dan Teradu sehingga terjadi hubungan yang tidak seimbang.

Kondisi ini merugikan Pengadu selaku perempuan karena berada pada posisi yang tidak dapat menentukan kehendak secara bebas dan logis. Alhasil, Teradu bisa melakukan kekerasan terhadap korban dengan memaksa dan menjanjikan sesuatu yang melanggar integritas dan profesionalitasnya sebagai ketua sekaligus anggota KPU.

DKPP menegaskan bahwa Hasyim Asy’ari selaku teradu telah menggunakan pengaruh, kewenangan, jabatan, dan fasilitas negara untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Selain itu, Teradu telah memanfaatkan berbagai situasi dalam kapasitasnya sebagai Ketua KPU dalam melakukan tindakan yang memaksa dan menjanjikan sesuatu dalam hal melakukan tindakan asusilanya.

Teradu terbukti melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (1) Pasal 6 ayat (2) huruf a dan c, Pasal 6 ayat (3) huruf e dan f, Pasal 7 ayat (1), Pasal 10 huruf a, Pasal 11 huruf a, 12 huruf a, Pasal 15 huruf a dan huruf d, Pasal 16 huruf e, dan Pasal 19 huruf f Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu.

Berdasarkan tren atas kecenderungan yang ada di lingkungan penyelenggara pemilu, kasus kekerasan berbasis gender di lingkungan penyelenggara pemilu telah meningkat tajam.

Pada periode tahun 2017-2022, ada 25 kasus kekerasan seksual yang ditangani DKPP. Selanjutnya pada 2022-2023, ada 4 kasus. Pada 2023 angkanya meningkat tajam hingga 54 perbuatan asusila dan pelecehan seksual yang dilaporkan ke DKPP.

Berbagai kasus tersebut terdiri dari pelecehan, intimidasi, diskriminasi, narasi seksis terhadap calon perempuan, kekerasan fisik, hingga kekerasan seksual di ranah privat maupun publik. Bahkan, berdasarkan temuan dari Kalyanamitra, misalnya terdapat pemaksaan perkawinan dengan motif kepentingan pemilu juga ditemukan di Sulawesi Selatan.