Find Us On Social Media :
10 Puisi Kemerdekaan 17 Agustus, Cocok untuk Lomba HUT RI ke-79 ()

10 Puisi Kemerdekaan 17 Agustus, Cocok untuk Lomba HUT RI ke-79

Dita Tamara - Selasa, 30 Juli 2024 | 12:00 WIB

Sonora.ID - Simak sederet puisi kemerdekaan 17 Agustus yang cocok untuk lomba memeriahkan HUT RI ke-79.

Pada saat memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, biasanya dimeriahkan dengan berbagai lomba, salah satunya lomba baca puisi.

Biasanya, puisi yang dibacakan bertemakan pahlawan maupun spirit perjuangan yang penuh makna dan nasionalisme.

Untuk itu, berikut ini referensi puisi tentang kemerdekaan 17 Agustus yang bisa menginspirasimu dilansir dari beberapa sumber:

1. Puisi Nyanyian Kebangkitan
Karya: Ahmadun Yosi Herfanda

Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
Di antara pahit-manisnya isi dunia
Akankah kau biarkan aku duduk berduka
Memandang saudaraku, bunda pertiwiku
Dipasung orang asing itu?
Mulutnya yang kelu
Tak mampu lagi menyebut namamu

Berikan suaramu, kemerdekaan
Darah dan degup jantungmu
Hanya kau yang kupilih
Di antara pahit-manisnya isi dunia

Orang asing itu beradab-abad
Memujamu di negerinya
Sementara di negeriku
Ia berikan belenggu-belenggu
Maka bangkitlah Sutomo
Bangkitlah Wahidin Sudirohusodo
Bangkitlah Ki Hajar Dewantoro
Bangkitlah semua dada yang terluka
"Bergenggam tanganlah dengan saudaramu
Eratkan genggaman itu atas namaku
Kekuatan akan memancar dari genggaman itu."

Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
Di antara pahit-manisnya isi dunia!
(Matahari yang kita tunggu
Akankah bersinar juga
Di langit kita?

Baca Juga: 40 Contoh Lomba 17 Agustus 2024 Paling Lucu dan Kreatif, Dijamin Ngakak

2. Diponegoro
Karya: Chairil Anwar

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

3. Gugur
Karya: W.S. Rendra

Ia merangkak
Di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
Pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya

Ia merangkak
Di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
Luka-luka di badannya

Bagai harimau tua
Susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
Menatap musuh pergi dari kotanya

Sesudah pertempuran yang gemilang itu
Lima pemuda mengangkatnya
Di antaranya anaknya
Ia menola
Dan tetap merangkak
Menuju kota kesayangannya
Ia merangkak
Di atas bumi yang dicintainya

Belum lagi selusin tindak
Maut pun menghadangnya
Ketika anaknya memegang tangannya
Ia berkata:

"Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah
Dan aku pun berasal dari tanah
Tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Karena kita punya bumi kecintaan
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah
Bumi kita adalah kehormatan
Bumi kita adalah jiwa dari jiwa
Ia adalah bumi nenek moyang
Ia adalah bumi waris yang sekarang
Ia adalah bumi waris yang akan datang
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Karena api menyala di kota Ambarawa."

Orang tua itu kembali berkata:
"Lihatlah, hari telah fajar!
Wahai bumi yang indah,
Kita akan berpelukan buat selama-lamanya!
Nanti sekali waktu
Seorang cucuku
Akan menancapkan bajak
Di bumi tempatku terkubur
Kemudian akan ditanamnya benih
Dan tumbuh dengan subur."

Maka ia pun berkata:
"Alangkah gembur tanah di sini!
Hari pun lengkap malam
Ketika ia menutup matanya."

Baca Juga: 10 Tema Karnaval 17 Agustus 2024 untuk Sekolah, Desa, hingga Kecamatan

4. Sajak Sebotol Bir
Karya: W.S Rendra

Menengak bir sebotol,
menatap dunia,
dan melihat orang-orang kelaparan.
Membakar dupa,
mencium bumi,
dan mendengar derap huru-hara.

Kota metropolitan di sini tidak tumbuh dari industri,
Tapi tumbuh dari kebutuhan negara industri asing
akan pasaran dan sumber pengadaan bahan alam
Kota metropolitan di sini,
adalah sarana penumpukan bagi Eropa,
Jepang, Cina, Amerika,
Australia, dan negara industri lainnya.

untuk menjadi orang lain.
Kita telah menjadi asing
di tanah leluhur sendiri.
Orang-orang desa blingsatan, mengejar mimpi,
dan menghamba ke Jakarta.
Orang-orang Jakarta blingsatan, mengejar mimpi
dan menghamba kepada Jepang,
Eropa, atau Amerika.

5. Puisi Kemerdekaan