“Kita semua tahu, bekantan sudah terancam punah karena habitatnya tergerus alih fungsi lahan. Itu yang ingin kita perjuangkan, agar satwa endemik Kalsel tidak hanya jadi legenda,” tuturnya dengan penuh semangat.
Kekhawatiran itu tentu saja bukan isapan jempol, mengingat selama dua dekade terakhir, populasi primata berhidung mancung yang kerap disebut ‘kera belanda’ itu memang berkurang signifikan.
Alasannya tak lain karena hutan mangrove yang menjadi tempat tinggalnya banyak beralih jadi milik perusahaan yang membabat habis untuk aktivitas lain. Hingga akhirnya juga berdampak pada berkurangnya lahan untuk pakan mereka.
“Itu yang jadi alasan saya dan teman-teman lain mendirikan yayasan ini, agar kita bisa melindungi bekantan dari kepunahan,” tambahnya lagi.
Beberapa tahun berjalan secara swadaya dan tak jarang mengeluarkan uang dari kantong pribadi, Amel dan relawan lainnya kerap mengalami berbagai situasi dalam upaya penyelamatan bekantan.
Baca Juga: Pengunjung Membludak, Siring Tendean Ditutup Selama Tiga Bulan ke Depan
Mulai dari masih minimnya kesadaran masyarakat untuk menyerahkan bekantan yang mereka pelihara, hingga ‘perang’ dengan perusahaan yang melakukan alih fungsi lahan.
“Alih fungsi lahan itu yang jadi ‘musuh’ dalam upaya ini, apalagi kita terbatas dana,” ungkap Dosen Pendidikan Biologi FKIP Universitas Lambung Mangkurat ini.
Selama beberapa tahun terakhir, pihaknya menurut Amel berupaya menghidupkan kembali habitat asli bekantan yang memang pemalu dan sulit beradaptasi di luar lingkungan aslinya.
Salah satunya dengan fokus pada kawasan konservasi di Pulau Bakut dan Pulau Curiak, Kabupaten Barito Kuala, yang menjadi basis utama upaya penyelamatan yang mereka lakukan.
Usaha tersebut tak sia-sia, puluhan bekantan sudah berhasil dilepasliarkan dan menjalani kehidupan alaminya, setelah sebelumnya diselamatkan dari berbagai kejadian dan dirawat sementara untuk mengembalikan nalurinya sebagai satwa liar.
Baca Juga: 'Night Ride' BW Kindai Hotel Bareng Deklarasi 'Kota Ramah Bersepeda'