Seperti belum signifikannya pengurangan personil yang organik, lalu biaya yang harus diperhitungkan dengan benar agar tidak berpotensi membebani keuangan negara, mengingat ada biaya yang harus dikeluarkan untuk keberadaan personil komcad di antaranya uang saku, kesehatan, hingga asuransi.
Hal serupa diungkapkan Leo Agustino, pakar kebijakan publik Untirta. Menurutnya, kebutuhan akan komcad saat ini tidak diikuti dengan terpenuhinya "persyaratan" tadi. Sebagai contoh, menurutnya jika akan merekrut komcad harus dilakukan pula pengurangan personel TNI organik.
"Seharusnya ada personil organik yang jumlahnya diturunkan, baru bisa melibatkan komponen cadangan," katanya.
Baca Juga: Menhan Prabowo Serahkan Bantuan Alat Kesehatan untuk RS Rujukan Covid-19
Selain itu, menurut merekrut komponen cadangan pun harus berasal dari tenaga yang terlatih.
"Adalah mereka-mereka yang terlatih, memiliki keahlian yang spesifik. Ya seperti ahli IT itu" tambah Leo.
Sementara itu, Direktur Komunikasi Indonesian Politics Research and Consulting (IRPC), Arlan Siddha mengemukakan, program komcad ini dipahami berbeda di kalangan milenial. Mereka beranggapan bahwa ini adalah wajib militer (wamil).
"Karena kurangnya informasi dan pemahaman, membuat milenial jadi ketakutan. Mereka berpikirnya akan ada latihan tempur atau perang, lalu bawa-bawa senjata dan lain sebagainya. Jadi mereka beranggapan apa iya untuk menunjukkan kecintaannya terhadap negara itu harus bergabung ke komcad? Kan ini jadi keliru," ucap Arlan.
Baca Juga: Menhan Prabowo Fokus Matangkan Rencana Pembangunan Pangkalan Militer Di Natuna