Sebagai anak-anak, Park sering mendapat kisah bahwa Kim Jong Un dan ayahnya, Kim Jong Il, adalah dewa yang bisa membaca pikiran.
Propaganda tersebut membuat rakyat negara penganut ideologi Juche itu terlalu takut untuk berbicara, bahkan memikirkan kebrutalan keluarga Kim.
Di sekolah, dia mengklaim mendapatkan pelajaran berhitung menggunakan metrik "Amerika siaan", atau ada sesi yang disebut "sesi kritik".
Di sana, para siswa diajarkan untuk saling menyerang atau menemukan kesalahan teman sekelasnya. Membuat mereka menjadi saling curiga dan terpecah belah.
"Kami tidak punya teman di Korea Utara. Yang kami punya hanyalah kamerad. Kami tidak mengenal apa itu hubungan pertemanan," ungkap Park.
Baca Juga: Mengaku Dijambret, Seorang Karyawan Ekspedisi di Kota Pontianak Diamankan karena Bikin Laporan Palsu
Park kemudian mengungkapkan bagaimana dia harus makan serangga untuk hodup, dan menyalahkan rezim Kim yang membiarkan rakyatnya kelaparan.
Baik paman dan neneknya tewas karena kelaparan. Dia kemudian menuturkan adalah hal biasa melihat jenazah korban kelaparan di jalanan.
"Anda akan melihat banyak orang sekarat karena kelaparan. Saat itu, saya bahkan tidak tahu bahwa itu adalah hal tak normal," kata dia.
Dia pun menyesalkan keputusan Pyongyang yang menghabiskan hingga miliaran dollar AS hanya untuk menguji coba senjata nuklir.
Menurut Yeonmi Park, jika saja Korut menganggarkan 20 persen saja untuk warganya, maka tidak akan ada ceritanya tewas kelaparan.
Dia juga membantah rumor yang menyatakan Kim Jong Un koma, di mana sumbernya di Pyongyang menyebut sang diktator baik-baik saja.
Meski begitu, dia mengaku bersyukur bisa lahir di Korut. Karena dia merasakan sendiri kesukaran sebelum kemudian membelot dan berpindah ke AS.
"Jika saya tak lahir di negara penuh penindasan dan gelap sepenuhnya, saya mungkin tak bakal melihat cahaya. Saya rasa warga di sana belum melihat cahaya seperti saya," jelasnya.
Baca Juga: Sri Mulyani Sebut Meski Indonesia Jatuh Ke Jurang Resesi, Tidak Berarti Kondisinya Sangat buruk