Sonora.ID – Setelah RUU Cipta Kerja disahkan pada Senin (5/10/2020), pemerintah resmi mengubah besaran nilai maksimal pesangon yang didapatkan menjadi sebesar 25 kali gaji jika pekerja di-PHK.
Adapun sebelumnya, di dalam UU Ketenagakerjaan No 13/2003, besaran nilai maksimal pesangon yang bisa didapatkan buruh mencapai 32 kali upah.
Hitungannya, pesangon akan diberikan perusahaan sebesar 19 kali upah, sisanya 6 kali jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) dibayarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Banyak masyarakat yang bertanya-tanya, apa alasan pemerintah memangkas nilai maksimal pesangon?
Melansir dari Kompas.com, rendahnya tingkat kepatuhan pembayaran hak pekerja itu disebut sebagai alasan pemerintah memangkas nilai maksimal pesangon.
Baca Juga: UU Cipta Kerja Potensi Langgar HAM, Amnesty: Jangan Sampai Jadi Awal Krisis
Pihak Kompas.com sudah mencoba menghubungi Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) untuk mengetahui data terbaru mengenai tingkat kepatuhan pembayaran pesangon, namun hingga berita ini ditayangkan, belum ada balasan dari pihak Kemenaker.
Pada Februari lalu, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mencatat, 2019, dari total 536 persetujuan bersama PHK, hanya 147 persetujuan bersama yang membayarkan uang kompensasi sesuai dengan Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
"Atau sekitar 27 persen. Sedangkan sisanya sebanyak 384 persetujuan bersama atau sekitar 73 persen tidak melakukan pembayaran kompensasi PHK sesuai dengan UU 13 tahun 2003," ujar Ida.
Atas dari data tersebut, pemerintah memutuskan untuk mengubah nilai maksimal pesangon. Sebab, pada saat bersamaan banyak calon investor menilai angka pesangon yang dapat mencapai 32 kali upah jauh lebih tinggi dibanding negara lain.
Baca Juga: Soal UU Cipta Kerja, Wakil Menteri Keuangan: Kami Bersyukur DPR Telah Mengesahkannya