“Mungkin dengan mudah kita dapat berpikir untuk dibongkar atau direlokasi. Tapi nyatanya kita tidak bisa mengabaikan keberadaan manusia di sana,” kata Risma di awal paparannya.
Wali kota yang mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Tongmyong, Busan Korea menjelaskan, yang dilakukan di Kota Pahlawan adalah melihat kawasan kumuh atau pemukiman sebagai sektor yang tidak mengganggu perkembangan kota.
Menurutnya, justru sebaliknya jika hal itu dapat ditata dengan baik, maka warga yang ada di kawasan tersebut akan berkontribusi pada perkembangan kota serta membuat kota lebih tangguh.
Baca Juga: Dubes Meksiko Sebut Konsep Taman Harmoni Layak untuk Smart City
“Saat masterplan Surabaya disusun, puluhan tahun lalu bahwa pemerintah kota (pemkot) sepakat kawasan kampung terutama yang letaknya dibbagian kota harus dilindungi sebagai cagar budaya kota,” ungkapnya.
Berpedoman pada hal itu, Presiden UCLG ASPAC semakin membulatkan tekadnya untuk tidak menghilangkan permukiman informal dan memberi jalan bagi pembangunan baru.
“Kami tidak pernah memiliki konsep menghancurkan permukiman informal untuk memberi jalan bagi pembangunan baru,” jelasnya.
Berangkat dari perspektif tersebut, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya membuat sejumlah proyek untuk menata kota.
Baca Juga: Peringatan Hari Habitat Dunia di Surabaya, Mencari Solusi Permukiman di Tengah Pandemi