Lebih baik PSBB
Menurut Dicky, jika serius ingin membatasi pergerakan masyarakat, maka pemerintah seharusnya menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sesuai Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
UU tersebut menyebutkan, definisi PSBB adalah penghentian semua aktivitas sosial, baik perkantoran, sekolah, perdagangan, atau pasar, atau pertokoan atau pusat perbelanjaan, transportasi, dan lain-lain.
"Di situ sebetulnya salah satu bentuk lockdown. Untuk apa? Untuk memperkuat testing dan tracing, sehingga jadi optimal dan bisa mengejar ketertinggalan kita dari virus ini," jelas dia.
Menurut Dicky, penerapan PSBB Jawa-Bali ini dianggap penting karena memiliki kontribusi kasus sebanyak 65 persen.
Baca Juga: PPKM Bali Diperpanjang sampai 8 Februari 2021, Pengawasan Protokol Kesehatan Tiga Kali Sehari
Selain itu, angka kematian di Jawa-Bali juga menyumbang 66 persen dari skala nasional.
"Ini bukan hal yang biasa dan tidak bisa hanya diselesaikan dengan PPKM saja, tak mungkin," ujar dia.
Ia menambahkan, test positivity rate (TPR) juuga tak masuk ke dalam parameter PPKM. Padahal, TPR ini bisa menjadi indikator valid untuk memutuskan pelonggaran dan pengetatan.
Jika PPKM dengan sejumlah kelonggarannya ini masih dilakukan, permodelan epidemiologi estimasi kasus terendah Indonesia dengan rata-rata 120.000 kasus per hari bisa makin meningkat.
Baca Juga: PPKM Tahap Pertama, Pemkot Surabaya Tindak 1.550 Pelanggar Prokes