JAKARTA, SONORA.ID – Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Agustina Erni mengatakan isu tentang rokok tidak pernah selesai dibahas hingga saat ini karena keterkaitan dan dampaknya terhadap sektor ekonomi, kesehatan, pembangunan nasional hingga kualitas sumber daya manusia, sangat lah kuat. Oleh sebab itu, diperlukan komitmen bersama dari seluruh pihak dalam implementasi kebijakan pengendalian tembakau sebagai salah satu strategi penting untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.
“Melalui upaya pengendalian tembakau, kita berharap berkontribusi pada upaya melindungi kehidupan, melindungi planet, melindungi sumber daya manusia, serta empowering nation. Oleh sebab itu, kita memerlukan strategi agar prevalensi perokok anak sebagaimana amanat RPJMN 2020-2024 dapat dicapai. Salah satu kuncinya dengan meningkatkan edukasi bagi keluarga sebagai 2P (pelopor dan pelapor), sehingga tercipta keluarga ramah anak dengan indikasi anak terhindar dari asap rokok. Cara ini ditempuh dengan melibatkan stakeholder terkait dalam bentuk kampanye anak Indonesia hebat tanpa rokok dan memperluas kebijakan kawasan tanpa rokok,” ujar Erni dalam Webinar “Kota Layak Anak Tanpa Iklan Promosi Sponsor Rokok untuk Mendukung Target Penurunan Perokok Anak dalam RPJMN 2020-2024” yang diselenggarakan Yayasan Lentera Anak bersama Yayasan Kakak, RUANDU Foundationn, TCSC IAKMI Jatim, Udayana Central, Muhammadiyah Steps.
Erni menambahkan beberapa permasalahan rokok yang masih ada di Indonesia adalah harga rokok masih relatif murah, penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) belum optimal, belum ada larangan total iklan, promosi, dan sponsor rokok.
“Saat ini, Kemen PPPA telah dan akan terus melakukan beberapa strategi yakni berupaya menginisiasi pembatasan akses pembelian rokok dan diiringi dengan meningkatkan edukasi berhenti merokok dan mendorong untuk menyediakan layanan berhenti merokok serta larangan menjual eceran, menjual pada anak dan pengaturan harga jual rokok. Kemen PPPA dengan mandat perlindungan anak tidak akan henti-hentinya melakukan mencegah perilaku merokok pada anak, dengan serangkaian kegiatan yaitu dengan menerapkan kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) sebagai suatu sistem pembangunan berbasis hak anak. Upaya ini dilakukan dengan sinergi komitmen dan pemanfaatan sumber daya pemerintah, masyarakat, media dan dunia usaha dalam kegiatan yang menjamin pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak,” imbuhnya.
Erni mengatakan masalah rokok ini menjadi keprihatinan kita bersama karena rokok dengan segala dampaknya mengganggu hak anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, bahkan menurunkan kualitas hidup anak. “Kami berharap strategi yang kami lakukan dapat membantu menekan angka perokok aktif di usia anak-anak dan remaja. Tentu hal ini tidak serta merta dapat kami lakukan sendiri, namun harus bekerjasama dengan berbagai pihak, baik antara Kementerian/Lembaga Pusat maupun Pemerintah Daerah, Lembaga Masyarakat, Dunia Usaha dan seluruh elemen masyarakat. Kerja sama yang baik, saling bahu-membahu antar Kementerian/Lembaga dan seluruh komponen bangsa sangat di perlukan untuk merumuskan upaya perlindungan anak dari dampak negatif rokok,” ujar Erni.
Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari mengatakan dalam kurun sepuluh tahun terakhir telah terjadi peningkatan jumlah perokok anak usia 10-18 tahun. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, bahkan dapat dikategorikan kondisi darurat perokok anak. Data Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) 2018 menyebutkan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun naik dari 7,2% (2013) menjadi 9,1% pada 2018.
“Padahal, RPJMN 2014-2019 menargetkan perokok anak harus turun menjadi 5,4% pada 2019. Peningkatan prevalensi perokok anak adalah bukti lemahnya pengendalian tembakau di Indonesia. Oleh sebab itu, dibutuhkan komitmen dan sinergi seluruh pihak dengan mengambil langkah yang lebih maju untuk mencapai target penurunan prevalensi perokok anak menjadi 8,7% pada 2024 sesuai RPJMN 2020-2024. Salah satu penyebab tingginya jumlah perokok anak, kata Lisda, karena industri rokok sangat gencar menyasar anak muda sebagai target pemasaran produknya dengan melakukan berbagai kegiatan manipulatif melalui iklan, promosi, sponsor, kegiatan CSR, informasi misleading dan produk-produk baru. Sementara di sisi lain peraturan dan perlindungan kepada anak dan remaja masih sangat lemah,” ujar Lisda.
Lisda mengajak seluruh elemen masyarakat aktif mengedukasi anak muda tentang pentingnya memahami siasat manipulasi industri rokok menjebak anak muda menjadi perokok dalam berbagai bentuk strategi pemasarannya. Salah satunya dengan upaya kepala daerah agar mendukung program Kab/Kota Layak Anak (KLA) yang diinisiasi oleh Kemen PPPA.
“Kondisi ini tidak bisa terus menerus dibiarkan. Pemerintah harus hadir untuk melindungi anak muda dari target pemasaran rokok dengan membuat regulasi yang lebih kuat. Saya mengajak kita semua memiliki kepedulian yang tinggi untuk melindungi anak Indonesia dari pengaruh buruk yang dapat membahayakan kesehatan dan masa depan mereka. Mari kita dukung pelaksanaan KLA yang diukur melalui 24 Indikator yang dijabarkan dari Konvensi Hak Anak. Salah satu indikator pada Klaster ke-3 yaitu Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan adalah adanya Kebijakan Daerah terkait Kawasan Tanpa Rokok (KTR), dan Pengendalian Iklan, Promosi, dan Sponsor (IPS) Rokok,” tambahnya.