Jakarta, Sonora.Id - Kesadaran sejarah tidak mungkin dibangun tanpa membaca buku. Dalam hal ini, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI memegang peranan untuk memberikan akses bahan bacaan kepada masyarakat, terutama generasi muda.
Harapan terhadap generasi muda, dengan membaca mereka memiliki pengetahuan sejarah yang memadai. Selanjutnya, kesadaran sejarah muncul sehingga terbentuk jiwa integritas generasi muda yang diharapkan menjadi bekal dalam menghadapi tantangan global.
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 oleh Ir. Soekarno dan Drs. Muhammad Hatta merupakan peristiwa besar untuk bangsa Indonesia, yang selalu diperingati setiap tahunnya. Memperingati dan mengenang peristiwa Proklamasi Kemerdekaan, akan membangun spirit kebangsaan dan merajut kesatuan negara.
Kepala Perpusnas Muhammad Syarif Bando menyatakan, berbicara mengenai sejarah perjuangan bangsa, sama dengan mengulas jasa para pejuang. Pejuang adalah mereka yang telah mengorbankan jiwa dan raga, agar kita bisa merasakan nikmatnya kemerdekaan.
Menurut Syarif Bando, dulu, para pejuang melawan musuh yang terlihat, sedangkan generasi saat ini berjuang melawan ketidakberdayaan dalam mempertahankan Sumber Daya Alam (SDA) yang diekploitasi oleh negara lain. Hal tersebut disebabkan ketidakmampuan dalam mengelola SDA secara baik, untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.
“Upaya Perpustakaan Nasional dalam memberikan akses bahan bacaan seluas-luasnya kepada masyarakat, mengambil bagian terkecil dalam mencerdaskan anak bangsa,” ujarnya saat membuka kegiatan webinar dengan tema “Proklamasi Indonesia Merdeka 1945-1950: Data dan Fakta” yang diselenggarakan secara daring, pada Senin (16/8/2021).
Senada dengan hal tersebut, akademisi sekaligus pengamat sejarah dari Universitas Indonesia Didik Pradjoko mengatakan, kesadaran sejarah hanya bisa dibangun dengan rajin membaca buku. Karena, membaca menjadi pintu masuk menuju pengetahuan.
Didik menerangkan bahwa kelompok inteligensia yang merupakan bagian dari perjuangan kebangsaan Indonesia terdiri dari anggota terpelajar yang memberikan penerangan kepada masyarakat tentang ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Dengan kata lain, kelompok inteligensia berperan sebagai aktivis pergerakan kebangsaan.
“Gerakan kelompok inteligensia sangat penting dalam menyuarakan pendapat antikolonial pada saat itu. Diharapkan, pelajar dan mahasiswa di masa sekarang bisa meneladani tokoh-tokoh kelompok inteligensia ini untuk meneruskan perjuangan mereka,” harap Didik.
Pada periode revolusi tahun 1945-1949, perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya di medan tempur ataupun di meja diplomasi, melainkan juga di medan pikiran. Dosen Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta M. Yuanda Zara menjelaskan perjuangan dilakukan melalui komunikasi persuasif.
“Perjuangan di medan pikiran adalah melalui komunikasi persuasif atau dikenal juga sebagai propaganda politik,” ungkapnya.
Peran propaganda sebagai pilar perjuangan dinilai penting karena jumlah penduduk Indonesia yang banyak dan terdiri dari ratusan etnis. Selain itu, terdapat perbedaan pandangan yang ekstrem tentang arti ‘kemerdekaan’, kemudian wilayah Indonesia juga sangat luas dengan jaringan informasi dan transportasi yang buruk.
Untuk itu, usaha awal propaganda dilakukan melalui berbagai cara di antaranya penyebaran dari mulut ke mulut, pengibaran bendera, diseminasi via radio, penerbitan oleh koran dan majalah, pengetikan tangan berkali-kali, serta melalui ‘rapat samudera’.
Adapun aktor yang berperan dalam proses propaganda pada masa itu antara lain Kementerian Penerangan, BP KNIP, jurnalis nasionalis, dan penyiar radio. Tidak hanya berbentuk tulisan, aksi propaganda juga dilakukan menggunakan tampilan visual berbentuk karikatur dan grafiti.