Namun di satu sisi, datangnya Belanda tersebut mengakibatkan proses betonisasi di Indonesia, terkhususnya Jakarta.
Betonisasi Jakarta sedari awal telah memunculkan risiko karena Jakarta pada awalnya berdiri di atas lahan gambut yang notabenenya, lahan ini sudah sangat basah.
Bila ditambah dengan beton di atasnya, maka kemungkinan besar tanah tersebut tidak dapat menopang dan amblas.
Betonisasi tersebut terus dilakukan hingga memasuki era pembangunan pesat pada masa kepemimpinan Suharto.
Di era ini, Jakarta kembali dirancang sedemikian rupa agar menjadi megapolitan.
Baca Juga: 19 ABK WNI Selamat Tiba di Bali, Pasca KM Bandar Nelayan 188 Tenggelam di Samudera Hindia
Meskipun terkesan baik, pembangunan pesat Ibu Kota ini menyisakan cerita bagi kelompok rentan, yakni kelompok miskin kota.
Studi Batubara dan Zwarteveen menampilkan fakta kalau perencanaan Kota Jakarta bersifat diskriminatif, dimana kelompok miskin kota sengaja ditempatkan di permukiman yang dekat dengan kawasan air atau laut.
Sementara itu, mereka yang mampu bermukim di pusat kota dan jauh dari daerah berair.
Hasilnya adalah ketika hujan, kelompok yang paling rentan terdampak banjir adalah kelompok miskin kota tersebut.
Pembangunan kota yang diskriminatif tersebut pun masih terasa hingga hari ini.
Kamu bisa menilik Kampung Air Jati Padang.
Baca Juga: Tujuh Fraksi Penolak Interpelasi Laporkan Ketua DPRD DKI Jakarta Ke Badan Kehormatan