Yakni, melakukan koreksi dan tindak lanjut dengan tidak lagi memberi izin atas bando-bando tersebut.
Kemudian pihak pemilik bando melakukan upaya hukum dengan menggugat Pemko ke Pengadilan.
Hasilnya Pengadilan menolak gugatan mereka dan keputusan Pengadilan sudah inkracht.
Lebih lanjut, Pemko Banjarmasin juga tidak lagi memungut pajak atas Bando-Bando tersebut, sejak tahun 2014 s/d 2019.
Namun walaupun ijinnya sudah tidak berlaku lagi pihak advertising tetap menjual Bando-Bando tersebut untuk tujuan komersial s/d tahun 2020 (pembongkaran tahap I).
"Jadi saya merasa heran dengan sikap DPRD yang ngotot minta ditunda dengan dalil ada perjanjian atau kesepakatan. Padahal Kepala Daerah berdasarkan pasal 76 UU No. 23/2014 dilarang mengambil keputusan yang menguntungkan golongan tertentu," cetusnya.
Baca Juga: Konflik Baliho Bando A. Yani, APPSI Berharap Pemko Berubah Pikiran
Ia menambahkan, seharusnya sesuai demgan amanat undang-undang pihak Dewan berkewajiban melakukan pengawasan terhadap Wali Kota dalam pelaksanaan Perda dan Pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan yang terkait.
"Bukan sebaliknya mendorong Wali Kota melakukan diskriminasi dan melanggar hukum. Apakah pimpinan Dewan menghendaki penundaan pembongkaran menunggu sampai robohnya bando-bando tersebut? Dan menimpa anggota dewan atau keluarganya atau masyarakat pengguna jalan lainnya," tandasnya.
Terakhir, dirinya juga mengingatkan kepada anggota dewan, bahwa pihak advertising sudah memperoleh keuntungan yang sangat besar dengan tetap menjual bando-bando merekawalaupun izinnya sudah mati dan tidak bayar pajak.
"Saya ingatkan juga kalau penggalian dan pemungutan PAD harus dari sumber-sumber yang sah dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan," tuntasnya.
Baca Juga: Syarif Bando : Lomba Bertutur Sarat Nilai Luhur dan Kearifan Lokal