Setidaknya ada 5 (lima) butir rekomendasi Lemhannas RI yang diberikan kepada Presiden. Dalam paparannya yang berjudul Hilirisasi Mineral Strategis dan Logam Tanah Jarang Guna Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Nasional, Agus Widjojo rekomendasi itu meliputi, kegiatan eksplorasi mineral dan inventarisasi termasuk integrasi data sumber kekayaan mineral Indonesia, keselarasan regulasi antar departemen terkait serta penegakan hukum, ketersediaan energi murah utamanya energi hijau (green Energy), pengendalian ekspor mineral dan penguasaan teknologi pengolahan baik Pierometalurgy yang optimal (smelter) dan hydrometalurgy.
Agus Widjojo menjelaskan kajian Lemhannas dan menyatakan temuannya bahwa teknologi smelter sebenarnya hanya mendukung industri baja dan steinless Stell. Smelter tidak memberi dukungan bagi pembangunan industri baterai listrik dan baterai listrik. Secara metalurgi industri baterai hanya dapat didukung dengan teknologi hydrometalurgi yang pada umumnya berupa HPAL. Teknologi ini hanya ada satu di Indonesia dan baru akan digunakan pada 2021 ini.
Satu Halaman
Dalam kesempatan terpisah setelah pengarahan, Presiden Joko Widodo meminta Edi Permadi untuk memberi masukan terkait dengan Hilirisasi Mineral Strategis dan Logam Tanah Jarang utamanya Nikel. Permintaan itu terkait dengan penjelasan Edi Permadi kepada Joko Widodo bahwa jika bijih nikel, tidak dikelola dengan good mining practices dan konservasi sumber daya dalam waktu belasan tahun saja akan habis. Oleh karena itu, untuk berdaya guna bagi dukungan perwujudan ekonomi nasional, nikel dan mineral strategis lainnnya harus dikelola dengan baik.
"Saya minta untuk segera diberikan kepada saya tentang hal itu dan cukup satu halaman saja. Saya baru mendengar tentang hal ini, " ujar Joko Widodo kepada Edi Permadi.
Kepada Presiden, dijelaskan juga oleh Edi Permadi, pengelolaan SKA melalui Good Mining Practices agar dapat dilakukan konservasi jangka panjang dan membuat industri strategis nasional. Salah satunya adalah Solar Cell sebagai _green energy_. Peluang menghasilkan _green power_ (energy) sesuai dengan Paris Agreement 2015 membuat semua negara berusaha untuk memenuhi persyaratan (compliance).
“Kita bisa dapatkan benefit dengan memproduksi green energy untuk diekspor ke negara yang membeli dengan harga premium seperti Singapura yang tidak memiliki lahan luas. Sebagai contoh, sekarang ini Australia merencanakan pemasangan kabel bawah laut sejauh 4.200 KM melalui Indonesia untuk mensupplai Singapura.” Ujar Edi Permadi.
Dalam konteks tersebut, dijelaskan lebih lanjut, Indonesia memiliki peluang yakni mensupplai dari Riau dan Batam yang jaraknya hanya 60 KM. challenge yang ada adalah kaitan dengan pembangkit dan transmisi swasta apalagi untuk ekspor. Lalu portofolio PLN sebagai pengayom seluruh rakyat Indonesia sehingga berfokus pada fosil yang ekonomis sehingga perlu didorong BUMN atau Swasta Nasional kuat yang bisa menciptai nilai tambah dengan membuat pembangkit green energy.