Sonora.ID - Pemulihan ekonomi global yang berlangsung termasuk di Indonesia dibayangi tiga fenomena utama pada beberapa waktu terakhir.
Pertama, normalisasi kebijakan negara maju yang mulai terindikasi dari kenaikan suku bunga AS.
Kedua, dampak luka memar yang berpengaruh terhadap pemulihan ekonomi, antara lain terhadap pemulihan di sektor dunia usaha dan upaya transformasi di sektor riil untuk mendorong daya saing dan produktivitas, serta transisi ke ekonomi hijau dan keuangan yang berkelanjutan.
Ketiga, ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina yang berdampak pada pemulihan ekonomi global berupa kenaikan harga-harga komoditas global, baik energi dan pangan yang berdampak pada inflasi sejumlah negara.
Dampak lainnya adalah gangguan dalam mata rantai perdagangan global yang memengaruhi distribusi dan volume perdagangan serta pertumbuhan pada ekonomi global, serta pada jalur keuangan dimana terjadi pembalikan arus modal ke aset yang dianggap aman (safe haven asset) sehingga dapat berdampak pada stabilitas eksternal dan nilai tukar.
Baca Juga: Bank Indonesia DIY Gelar Kegiatan Vaksinasi 1.000 Kyai
Demikian mengemuka dalam kuliah umum bertajuk“Mendorong Akselerasi Pemulihan Ekonomi dan menjaga stabilitas di tengah Normalisasi" (21/3).
Perhelatan yang diperuntukkan bagi publik tersebut, merupakan salah satu side events seri Maret dari rangkaian G20, secara serentak diselenggarakan secara hybrid di Semarang, Makassar dan Medan.
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, menekankan pentingnya agenda prioritas finance track Presidensi G20 yang dapat berperan dalam upaya mengatasi fenomena dimaksud.
Lebih lanjut, BI meyakinkan bahwa ekonomi Indonesia akan lebih baik dengan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan sebesar 4,7-5,5% pada tahun 2022, didukung peningkatan ekspor dan konsumsi rumah tangga. Animo positif juga datang dari investasi serta stimulus dari Pemerintah dan BI.