Sonora.ID - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menyayangkan, industri kelapa sawit masih belum cukup berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan pihak-pihak yang terlibat dalam rantai produksinya, khususnya tenaga kerja perkebunan yang mayoritas perempuan.
Padahal sawit merupakan komoditas yang sangat bernilai tinggi. Berdasarkan data BPS, di 2020, ekspor minyak kelapa sawit nilainya tembus 18,7 miliar dollar AS. Sedangkan di semester I 2021 nilainya mencapai 12,3 miliar dollar AS.
Dalam penyerapan tenaga kerja di daerah, terlihat hingga tahun 2018 industry sektor ini telah menyerap 20 juta buruh dan 60 persennya merupakan buruh perempuan yang bekerja pada bagian pengolahan sawit, perkebunan, hingga administrasi keuangan.
Oleh sebab itu, Bintang menegaskan, tidak ada alasan bagi pelaku industri sawit untuk menghalangi peningkatan kesejahteraan buruh perempuan.
Baca Juga: Menteri PPPA: Cegah Stunting Dimulai dari Pola Pengasuhan Anak yang Baik
"Mereka mesti diberi upah yang layak, jaminan perlindungan sosial demikian juga fasilitas yang baik untuk anak-anak mereka,” kata Menteri PPPA Bintang dalam Webinar Bincang Dua Puluh bersama Harian Kompas dan Gapki: Perempuan Hebat, Industri Sawit Kuat, Selasa (22/3).
Selain itu, Bintang mengungkapkan berdasarkan data Koalisi Buruh Sawit, sebagian besar sawit perempuan berstatus sebagai buruh harian lepas yang mengakibatkan adanya perbedaan hak yang diperoleh antara buruh laki-laki dan perempuan. Padahal beban kerja mereka sama sama.
“Selain hak, permasalah lain adalah maraknya kasus close labour. Istilah ini diberikan kepada istri pekerja sawit yang terpaksa membantu suaminya bekerja memenuhi target dari perusahaan tapi mereka tidak mendapat upah atas pekerjaan yang penuh risiko,” ungkapnya.
Selain itu, Bintang mengungkapkan persoalan-persoalan gender lain yang dihadapi pun beraneka ragam, antara lain soal kerawanan pangan, akses yang tidak setara terhadap tanah dan sumber daya alam, akses yang tidak setara dalam pendidikan dan pelatihan, diskriminasi gender dalam pengambilan keputusan, serta lingkungan kerja yang relatif tidak aman bagi perempuan.
“Tantangan tersebut menjadi hambatan bagi terwujudnya industri sawit yang responsif gender dan ramah perempuan,” tuturnya.