Mengukur indeks literasi paling tidak mencakup empat hal, yakni kecakapan membaca, akses terhadap bahan bacaan, kebiasaan/pembiasan pembudayaan kegemaran membaca, serta nalar kritis dan manfaat terhadap dirinya.
“Darurat buku memang penting, tapi lebih darurat lagi adalah darurat baca buku,” tambah Arys.
Menurut Arys, seharusnya ISBN tidak harus menjadi dewa bagi penerbitan buku. Arys mencontohkan, di Amerika Serikat 42% buku yang terbit tidak dilengkapi ISBN. Bahkan, kanal Google play book dan Amazon pun tidak mensyaratkan. ISBN harus diposisikan sebagaimana mestinya. Kalau hanya penyusunan laporan pemerintah, laporan Kuliah Kerja Nyata (KKN), prosiding seminar tidak harus ber-ISBN. Karena hal tersebut tidak mewakili jumlah buku
Masyarakat Indonesia memang perlu tambahan jumlah buku. Tapi jangan terjebak disitu. Yang dibutuhkan bukan judul buku, melainkan pada eksemplarnya.
“Sebaiknya. jangan terjebak pada kuantitas dengan ISBN yang banyak,” tambah Arys.
Jika mengacu pada jumlah judul, nasibnya kayak ISBN. Buku yang beredar tidak ada karena diterbitkan sesuai kepentingan. Misal, dicetaknya hanya 5 eksemplar yang dipakai untuk kebutuhan kenaikan pangkat. Akibatnya ilmu tidak sampai. Literasi pun tidak tercapai.
Sementara itu, Direktur Balai Pustaka Achmad Fachrodji mengatakan yang pertama dilakukan adalah meningkatkan kesenangan membaca. Fachrodji mengakui darurat buku harus diperbaiki dengan memperbaiki ekosistem perbukuan nasional.