Medan, Sonora.ID - Kepala Kantor Perwakilan Bursa Efek Indonesia (BEI) Provinsi Sumatera Utara (Sumut), Jumat (01/07/2022), Muhamad Pintor Nasution menyampaikan, Memasuki semester kedua tahun 2022, investor di pasar modal, baik investor saham maupun investor obligasi tengah menyusun strategi investasi yang tepat untuk mengoptimalkan keuntungan dan meminimalkan risiko, di mana kondisi pasar obligasi Indonesia diproyeksikan masih akan bergerak fluktuatif hingga akhir tahun.
Muhammad Pintor Nasution juga menyebutkan penyebab fluktuasi harga obligasi di pasar modal karena ancaman tingginya inflasi, serta tren kenaikan suku bunga negara-negara maju.
Namun, kondisi ekonomi domestik yang terjaga menjadi katalis positif dalam menahan tekanan eksternal tersebut. katanya dalam siaran persnya.
“Risiko utama pasar global adalah keputusan bank sentral Amerika Serikat (The Fed) yang menaikkan suku bunga acuan secara agresif untuk meredam tingginya inflasi yang kemudian menimbulkan risiko stagflasi,” ungkapnya.
Kondisi perekonomian global yang melambat ini dapat memicu risiko resesi ekonomi di Amerika Serikat, maupun beberapa negara maju lain.
Berdasarkan Outlook Pasar Obligasi Semester II yang dirilis oleh PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI), kenaikan suku bunga akan memicu naiknya yield US Treasury.
Berdasarkan outlook ini masih dibilangnya, The Fed masih bisa menaikkan suku bunga secara agresif sekitar 50 bps-75 bps di empat pertemuan bulan yang tersisa.
Kenaikan yield US Treasury akan membuat spread antara yield SBN dengan yield US Treasury juga akan semakin menyempit.
Secara tren, pergerakan spread yield US Treasury dengan yield SBN acuan 10 tahun memang terus menyempit. Pada 2021, spread masih berkisar 500 bps, namun saat ini spread sudah menjadi 425 bps.
Dengan kondisi ini, investor akan cenderung memilih US Treasury karena jauh lebih menarik. SBN akan dipandang punya risiko yang tinggi, sementara US Treasury yang merupakan safe haven, juga menawarkan yield yang tidak kalah tinggi.
Pintor menambahkan,hingga pertengahan Juni 2022, kinerja pasar obligasi dalam negeri yang tercermin dari Indonesia Composite Bond Index (ICBI) turun -1,80% yoy dari level 332,8078 menjadi 326,8177.
Indonesia Government Bond Return Index (INDOBeXG-Total Return) turun -2,09% yoy dari 326,1186 menjadi 319,2893. Indonesia Corporate Bond Return Index (INDOBeXC-Total Return) naik +2,56% yoy dari 367,9748 menjadi 377,3892. Sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penguatan sebesar +6,47%ytd dari level 6.581,48 menjadi 7.007,0.
Menurut PHEI, risiko pasar obligasi dari dalam negeri yakni tekanan inflasi. Kondisi tersebut seiring dengan pemulihan ekonomi yang tercermin dari peningkatan Indeks Keyakinan Konsumen yang dapat mendorong kenaikan inflasi inti. Tekanan inflasi juga bersasal dari penyesuaian tarif yang diatur pemerintah, kenaikan harga energi dan beberapa komoditas, dan kenaikan biaya transportasi.
“Ada beberapa pendorong kenaikan inflasi yang bisa dicermati investor di pasar obligasi. Pertama, daftar golongan tarif listrik yang naik mulai 1 Juli 2022, kenaikan tarif listrik dari 1.444, 7 per kwh menjadi Rp 1.699 per kwh atau naik 17,64%. Kedua, harga cabai meroket karena produksi anjlok 60%. Kenaikan harga cabai merah disebabkan pasokan ke pasar berkurang drastis akibat imbas gagal panen. Ketiga, harga tiket pesawat naik, contohnya tarif penerbangan Batam-Singapura juga naik yang ikut mendorong kenaikan tarif kapal feri penyebrangan dari Batam ke Singapura dan sebaliknya. Keempat, harga minyak naik di tengah perkiraan kenaikan suku bunga AS. Harga minyak naik di perdagangan Asia, di tengah kekhawatiran atas permintaan bahan bakar. Kelima, isu kenaikan BBM hingga detergen bakal dikenai cukai, meskipun Askolani Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementrian Keuangan menegaskan pihaknya tidak ada rencana menjadikan bahan bakar minyak (BBM), ban karet, dan detergen sebagai barang kena cukai (BKC),” jabarnya.
Sementara itu, katalis bagi pasar obligasi yakni konsolidasi fiskal dengan tren defisit APBN mengalami penurunan, pemulihan ekonomi yang berlanjut, dan dipertahankannya sovereign rating Indonesia oleh lembaga pemeringkat internasional.
Selain itu sentiment positif juga berasal dari dipertahankannya suku bunga acuan BI, berlanjutnya skema burden sharing dan quantitative easing (QE) oleh Bank Indonesia sebagai dukungan untuk menjaga pasar obligasi tanah air.
Total pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dan QE SBN oleh BI sepanjang tahun 2020 sebesar Rp 473,42 triliun melalui pembelian di pasar perdana dan private placement sedangkan di tahun 2021 dilanjutkan sebesar Rp 358,32 triliun.
Selain itu juga, injeksi likuiditas melalui pasar sekunder dikucurkan BI sebesar Rp750,38 triliun pada tahun 2020 dan Rp 147,83 triliun pada tahun 2021. Sementara outlook pasar obligasi korporasi tahun 2022, PHEI memperkirakan dalam skenario moderat, penerbitan obligasi korporasi akan berada di kisaran Rp105 triliun sampai Rp110 triliun.
“Sepanjang semester pertama 2022 sudah diterbitkan obligasi korporasi sebesar Rp69,73 triliun, naik dibanding tahun 2021 sebesar Rp40,94 triliun. Penerbitan obligasi korporasi didorong oleh kebutuhan refinancing dan ekspansi usaha seiring dengan berlanjutnya pemulihan ekonomi, “tutup Pintor. (Eric Indra)