Jakarta,Sonora.Id - Indonesia berhasil mencatatkan diri sebagai negara penghasil crude palm oil (CPO) kelapa sawit terbesar di dunia dan menguasai produksi kelapa sawit sebesar 31,2% dari total 190 juta ton produksi minyak nabati global dan berharap produksi kelapa sawit terus berkembang dari waktu ke waktu sehingga makin membuat posisi Indonesia semakin strategis di dunia global.
Anggota Komisi IV DPR-RI, Daniel Johan menyebutkan terus meningkatnya produksi kelapa sawit nasional juga berdampak positif terhadap penerapan tenaga kerja sebanyak16,2 juta tenaga kerja baik langsung maupun tidak langsung dan mampu menghemat devisa negara hingga mencapai Rp38 triliun melalui penerapan kebijakan program biodiesel B-30.
Baca Juga: Menko Airlangga: Minyak Sawit Solusi Atasi Krisis Pangan dan Energi
Dengan luas lahan mencapai 16,4 juta hektare, Indonesia mampu memproduksi hampir 50 juta ton CPO dan mengekspor lebih dari 30 juta ton per tahun atau menguasai 54 persen dari sawit dunia. Meskipun demikian, hingga kini Indonesia belum mampu menjadi penentu harga dan penentu pasar sawit dunia.
“Kami mendorong Pemerintah agar menyatukan stakeholder bersama BPDPKS untuk menentukan strategi agar Indonesia menjadi penentu harga dan pasar sawit dunia,” kata Wakil Ketua Komisi IV DPR RI itu.
Menyinggung soal penurunan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, Daniel yang juga politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menjelaskan penurunan harga TBS menjadi pukulan berat, terutama sejak April hingga Juli 2022 karena faktanya pada saat dunia menikmati keuntungan akibat kenaikan harga TBS, bahkan di Malaysia harga sawit bisa mencapai lebih dari Rp4.000 per kg, tetapi di Indonesia harga TBS drop hingga mencapai Rp500 per kg sehingga terjadi disparitas lehih dari Rp3.500 per kg.
Kondisi penurunan harga TBS tersebut telah meningkatkan kemiskinan dan menurunkan daya beli masyarakat. Petani di Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra mengalami pengalaman yang sangat tragis. Oleh karena itu, pihaknya di DPR RI mendorong pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah strategis dan memantau perkembanganya.
Sekarang harga sudah membaik dan telah menembus angka Rp2.500 per kg. Hal itu merupakan suatu kabar yang baik, khususnya bagi petani sawit, meskipun masih ada harga yang dibawah Rp2.000 per kg.
“Masalah harga TBS ini menjadi tantangan bagi pemerintah karena kalau tidak segera diatasi dengan baik, lahan-lahan petani rakyat yang mencapai 41% atau 5,9 juta dari total lahan sawit di Indonesia, tidak akan dirawat dengan baik yang pada akhirnya akan mengakibatkan anjloknya produksi sawit nasional,” katanya.
Pihaknya mengapresiasi pemerintah yang telah mengambil langkah tegas untuk menaikkan harga TBS. Ke depan, pemerintah harus mengawal perkembangan di lapangan.
“Langkah-langkah yang sudah dilakukan Pemerintah yakni membuka kran ekspor, menaikan B-30 menjadi B-35 atau B-40 dan penghapus dalam waktu tertentu pajak ekspor dan pungutan-pungutan ekspor, telah menjadi daya ungkit sehingga harga TBS mulai merangkak naik,” katanya.
Ke depan, yang perlu dilakukan adalah bagaimana Pemerintah memantau secara terus menerus sampai harga sawit kembali naik sesuai harga yang berlaku di dunia. Lalu kebijakan lain yang oleh petani sawit harapkan adalah, baik Pemerintah maupun BPDPKS agar terus fokus menyerap petani sawit rakyat dan membantu meringankan beban pembiayaan usaha rakyat dikarenakan petani kesulitan membayar kredit ditengah anjloknya harga TBS.
Selain itu, harus dipermudah izin ekspor kelapa sawit dan turunanya sehingga ekspor kelapa sawit dapat berjalan dengan baik.
“Untuk jangka panjangnya, diharapkan seluruh petani rakyat, dapat membentuk koperasi-koperasi sehingga ke depan dapat membangun pabrik yang pada akhirnya dapat menstabilkan harga TBS,” katanya.