Jakarta,Sonora.Id - Pada tahun 2045 mendatang, saat Indonesia memasuki usia emas 100 tahun, generasi bangsa akan mampu menjadi generasi yang unggul dan punya kapasitas bersaing serta bertransformasi sebagai negara maju. Permasalahannya, di era post truth seperti saat ini, masyarakat Indonesia berpotensi terpapar informasi yang keliru sehingga diperlukan kemampuan kecakapan literasi dan keluasan pengetahuan.
“Post truth adalah era dimana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran. Caranya dengan memainkan dan perasaan,” tutur Kepala Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Indo Global Mandiri, M. Quranul Kariem pada Webinar Kegemaran Membaca Pusat Analisis Perpustakaan dan Pengembangan Budaya Baca Perpustakaan Nasional pada Selasa, (6/9/2022).
Menurut Kariem, post truth dapat menjadi ancaman serius dalam kehidupan masyarakat di era perkembangan teknologi informasi. Disinformasi dan misinformasi banyak bertebaran. Apalagi Indonesia merupakan masyarakat majemuk karena dihuni tidak kurang dari 1.340 suku bangsa.
Informasi yang tidak benar bisa memunculkan disintegrasi. Perhatikan siapa yang menyampaikan. Apakah memang berkompeten menyampaikan atau tidak, tambah Kariem.
Maraknya misinformasi dan disinformasi yang bertebaran disinyalir karena masyarakat Indonesia masih bermental ‘netijen’. Menurut situs Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo, 2020) di Indonesia terdapat sedikitnya 800 ribu situs penyebar hoax. Dan fakta lain menyebutkan, 60% orang Indonesia terpapar hoax (katadata insight centre, 2020). Makanya, tidak heran jika sepanjang 2018-2020, Kominfo telah menangani 3.640 kasus terkait ujaran kebencian (hate speech).
“Banyaknya etika buruk yang terjadi di dunia digital sehingga diperlukan sebuah solusi aplikatif, seperti critical thinking, tidak mengumbar privasi, melawan konten negatif dengan konten positif, melatih soft skill, berkompetisi sehat, serta memperbanyak baca dan menulis,” imbuh Ilham Bahari selaku Duta Baca Kab. Tanah Bumbu, Kalimantan Selantan.
Literasi bukan sekedar deretan huruf-huruf, melainkan tools (alat) manusia dalam mengembangkan kecakapan hidup di abad 21. Literasi menjadi wajib dimiliki agar manusia mampu mengikuti perkembangan zaman. Di tatanan masyarakat sendiri pun sudah mulai tumbuh gerakan literasi lewat berbagai medium, seperti taman baca, rumah baca, pojok baca, hingga komunitas pustaka bergerak.
“Kecakapan di abad 21 menumpukan pada kemampuan berpikir kritis, berkomunikasi, berkolaborasi, dan berkreasi,” ujar Akhmad Cahyo, seorang guru dan penulis.
Literasi tentu saja memerlukan aksi atau tindakan. Artinya, bergerak untuk melakukan sesuatu. Mulailah aksi literasi dari lingkungan terdekat, yakni keluarga dengan sejumlah treatment, seperti orang tua yang membacakan buku atau mendongeng, membangun perpustakaan mini di rumah, mengajak keluarga mengunjungi perpustakaan atau toko buku terdekat, memberikan hadiah buku pada momen-momen tertentu.
Untuk aksi literasi di satuan pendidikan, misalnya bisa secara kolektif mengelola sudut baca, mengadakan jam kunjung perpustakaan sekolah, memberdayakan majalah dinding, membuat pohon literasi, membentuk relawan perpustakaan, hingga mengajak guru/dosen menjadi role model dengan menghasilkan karya/artikel ilmiah, buku-buku.
“Nah, ketika berada di lingkungan tempat tinggal, aksi literasi bisa dilakukan dengan mendirikan komunitas peduli literasi, membangun perpustakaan atau taman baca masyarakat, hingga membuat program-program literasi,” pungkas pustakawan Perpustakaan Nasional Hikmah Nurida.