Bandung, Sonora.ID - Dalam sebuah diskusi yang digelar oleh Forum Bhayangkara Indonesia di Gedung Indonesia Menggugat Jalan Perintis Kemerdekaan Kota Bandung, Minggu (18/9/2022), seputar "Hukum, Kriminal, dan Kriminalisasi", mencuat istilah "gratifikasi" yang oleh kebanyakan orang dianggap sebagai tindakan korupsi.
“Harus dipahami dulu awal katanya, bahwa Gratifikasi itu berawal dari bahasa Inggris dengan kata 'grats' yang berarti terimakasih," papar Aang Sirojul Munir, seorang praktisi hukum yang menjadi salah satu narasumber pada diskusi tersebut.
"Nah, karena ada kebiasaan di masyarakat kita dalam mengungkapkan terimakasih itu dengan memberikan sesuatu yang berbentuk materil, maka akhirnya menjadi sebuah kriminalisasi. Kriminalisasi memiliki arti penentuan suatu perilaku yang sebelumnya tidak dipandang sebagai suatu kejahatan, namun akhirnya menjadi suatu perbuatan yang dapat dipidana," jelas Aang.
Lebih lanjut Aang menuturkan, bahwa pada akhirnya masyarakat menganggap bahwa gratifikasi adalah hal yang sama dengan korupsi.
"Padahal itu ada perbedaan dalam arti, korupsi itu adalah tindak pidana yang merugikan keuangan negara, sedangkan gratifikasi adalah pemberian suatu barang atau uang terhadap pejabat publik," tutur Aang.
Dalam pasal yang diberi penjelasan itu adalah Pasal gratifikasi yang terdapat dalam ketentuan Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 juncto UU No. 20/2001, yang menyatakan, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
"Akhirnya ekses dari gratifikasi menjadi bermasalah jika mengganggu performa pelayanan publik yang menjadi kewajibannya," jelas Aang.
"Inilah yang melandasi gratifikasi menjadi permasalahan dan dilarang demi menjaga akuntabilitas layanan," imbuhnya.
Saat disinggung mengenai suap, Aang menerangkan, bahwa gratifikasi berbeda dengan suap.
Aang memaparkan, berdasarkan referensi dari guru besar Fakultas Hukum UNDIP yaitu Prof. Dr. Pujiono, terlebih dahulu harus ditemukan unsur 'mens rea' nya yaitu “meeting mainning” atau pertemuan kehendak antara si pemberi dan si penerima, dengan catatan si penerima memeliki kewenangan yang akan membantu terjadiannya sesuatu yang di kehendaki oleh keduanya atau sesuatu yang tidak dikehendaki pemberi dan penerima karena suap memiliki satu perencanaan untuk mensukseskan satu proyek atau program yang berpotensi merugikan keuangan negara.
"Artinya antara penerima dan pemberi bertemu merencanakan. Inilah unsur yang harus dipenuhi. Jadi penerima dan pemberi sama-sama menerima sangsi pidana. Jika penerima menerima sangsi maka pemberinya pun demikian," paparnya.
Sementara itu narasumber lainnya, Yenny Sucipto seorang penggiat anti korupsi mengatakan, bahwasanya harus dilihat dahulu gratifikasi yang terjadi.
"Seandainya memang ada potensi relasi antara penerima dan pemberi secara politik untuk menyukseskan proyek yang merugikan negara, maka ini harus dihukum namun jika tidak, maka seharusnya tidak dihukum," kata Yenny.
Menurutnya, gratifikasi itu harus juga di selidiki secara mendalam karena dapat dijadikan senjata oleh lawan politik dari si penerima sehingga membuat framing yang buruk di masyarakat.
Narasumber selanjutnya, seorang aktivis 98 Muhammad Hanif mengatakan, bahwa hukum adalah produk politik yang sangat kental dengan berbagai kepentingan, maka pasal tentang gratifikasi atau suap pun harus dikupas, apakah ada kepentingan politik di dalamnya atau tidak.
Kesimpulan dalam diskusi tersebut menyepakati, bahwa dengan semangat penanganan korupsi demi menjaga wibawa dan performa pemerintahan, edukasi penanganan korupsi terkait unsur suap dan gratifikasi perlu dilakukan agar tidak menjadi alat framing lawan politik.