Saat Indonesia merdeka, M. T. Haryono bergabung bersama TKR dengan pangkat mayor.
Kemampuannya berbahasa Belanda, Inggris, dan Jerman sangat dibutuhkan dalam berbagai perundingan internasional.
Dia pernah menjadi bagian dari Kementerian Pertahanan, Sekretaris Delegasi Militer Indonesia dan menjadi Atase Militer RI untuk Negeri Belanda (1950) dan sebagai Direktur Intendans dan Deputy Ill Menteri/Panglima Angkatan Darat (1964).
Pada 1965, M. T. Haryono menjadi salah satu korban pemberontakan G30S PKI.
Jasadnya ditemukan di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta dan dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi.
5. Mayjen (Anumerta) D. I. Panjaitan
Donald Ignatius Panjaitan atau D. I. Panjaitan lahir di Balige, Tapanuli pada 9 Juni 1925.
Saat Indonesia dikuasai Jepang, dia pernah menjalani pendidikan militer Gyugun. Kemudian D.I. Panjaitan ditempatkan di Pekanbaru, Riau sampai saat proklamasi kemerdekaan.
Pasca kemerdekaan, dia ikut membentuk TKR dan terus berkarier di bidang militer.
Jabatan terakhirnya sebelum meninggal adalah sebagai Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat dan mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat.
Dia termasuk jenderal yang diculik dan dibunuh oleh PKI pada 1 Oktober 1965 tepatnya di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta dan dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi.
6. Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo
Sutoyo Siswomiharjo lahir di Kebumen, Jawa Tengah pada 28 Agustus 1922.
Saat Jepang berkuasa, Sutoyo sempat mendapat pendidikan pada Balai Pendidikan Pegawai Tinggi di Jakarta, dan kemudian menjadi pegawai negeri pada Kantor Kabupaten di Purworejo.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan, dia menjadi TKR bagian Kepolisian dan sempat menjadi anggota Korps Polisi Militer.
Kariernya pun kian melejit sehingga diangkat sebagai ajudan Kolonel Gatot Subroto dan kemudian menjadi Kepala Bagian Organisasi Resimen II Polisi Tentara di Purworejo.
Tahun 1961 ia diserahi tugas sebagai Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat.
Sutoyo yang menentang pembentukan angkatan kelima PKI ikut gugur dalam peristiwa G30S PKI.
Jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta dan dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi.
7. Kapten (Anumerta) Pierre Tendean
Piere Tendean lahir di Jakarta pada 21 Februari 1939.
Pada tahun 1962, dia menyelesaikan pendidikan di Akademi Militer Jurusan Teknik.
Kemudian dia menjabat Komandan Peleton Batalyon Zeni Tempur 2 Komando Daerah Militer II/Bukit Barisan di Medan. Ia ikut bertugas menyusup ke daerah Malaysia ketika sedang berkonfrontasi dengan Malaysia.
Pada April 1965, Pierre Tendean diangkat sebagai ajudan Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/ Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Nasution.
Saat bertugas, dia tertangkap oleh kelompok G30S. Ia pun mengaku sebagai A. H. Nasution di mana sang jenderal berhasil melarikan diri.
Namun, dirinya harus mengorbankan nyawa untuk melindungi Jenderal Nasution.
Dia pun tewas terbunuh dalam peristiwa G30S PKI di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta dan dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi.
Baca Juga: Bekas Gudang Dinamit Jepang di Wonogiri Jadi Saksi Bisu Kejamnya PKI
8. Brigjen (Anumerta) Katamso
Berbeda dengan para pahlawan revolusi korban G30S PKI lainnya, Katamso adalah korban kekejaman di Yogyakarta.
Diketahui Katamso lahir di Sragen, Jawa Tengah pada 5 Februari 1923.
Saat masih berada dalam kekuasaan Jepang, dia pernah mengikuti pendidikan militer PETA di Bogor.
Kemudian dia diangkat menjadi Shodanco Peta di Solo.
Pasca Indonesia merdeka, dia masuk TKR dan jadi TNI.
Kiprahnya dalam bidang militer terus berkembang. Pada Tahun 1958, Katamso dikirim ke Sumatra Barat untuk menumpas pemberontakan PRRl sebagai Komandan Batalion A Komando Operasi 17 Agustus.
Setelah itu menjadi Kepala Staf Resimen Team Pertempuran (RIP) II Diponegoro di Bukittinggi.
Katamso juga menjadi korban keganasan G30S. Dia diculik dan dibunuh oleh PKI pada 1 Oktober 1965.
Jasadnya baru ditemukan 22 Oktober 1965 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
9. A.I.P. II (Anumerta) K. S. Tubun
Karel Satsuit Tubun lahir di Tual, Maluku Tenggara pada 14 Oktober 1928.
Lulusan Sekolah Polisi Negara di Ambon ini pernah menjadi Agen Polisi Tingkat II dan mendapat tugas dalam kesatuan Brigade Mobil (Brimob) di Ambon.
Kemudian ia ditempatkan pada kesatuan Brimob Dinas Kepolisian Negara di Jakarta.
Tahun 1955 dipindahkan ke Medan Sumatera Utara dan tahun 1958 dipindahkan ke Sulawesi.
Saat pemberontakan G30S PKI, K.S Tubun merupakan salah satu korbannya.
Saat kejadian, dia sedang bertugas sebagai pengawal di kediaman Dr. Y. Leimena yang berdampingan dengan rumah Jenderal A. H. Nasution.
Satsuit Tubun melawan dan terjadi pergulatan hingga tertembak dan gugur.
Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
10. Kolonel (Anumerta) Sugiyono
Sugiyono lahir di Gunung Kidul, Yogyakarta pada 12 Agustus 1926.
Saat masih dalam pendudukan Jepang, dia mengenyam pendidikan militer pada Pembela Tanah Air (PETA).
Setelah lulus, Sugiyono diangkat menjadi Budanco di Wonosari.
Perjalanannya di dunia militer terus berlanjut. Dia juga ikut melakukan sejumlah penumpasan pemberontakan di Tanah Air.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sugiyono yang baru saja kembali dari Pekalongan ditangkap di Markas Korem 072 yang telah dikuasai gerombolan PKI. Dia dibunuh di wilayah Kentungan, sebelah Utara Yogyakarta.
Jenazahnya baru ditemukan pada 22 Oktober 1965 kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Demikianlah 10 pahlawan revolusi korban G30S PKI yang gugur.
Mereka ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi dan dinaikkan pangkat satu tingkat lebih tinggi secara anumerta.
Hal itu berdasarkan Keputusan Presiden No 111/KOTI/1965 tanggal 5 Oktober 1965 (untuk 1-7), No 114/KOTI/1965 tanggal 5 Oktober 1965 (untuk 8), dan No. 118/KOTI/1965 tanggal 19 Oktober 1965 (untuk 9-10).
Gelar Pahlawan Revolusi juga diakui sebagai gelar Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan UU 20/2009 tantang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.