Sonora.ID – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA),
Bintang Puspayoga memastikan Pemerintah Indonesia mengutuk keras praktik tindak pidana perdagangan orang (TPPO) atau
human trafficking yang merupakan bentuk pelanggaran terburuk terhadap martabat dan hak asasi manusia.
“Praktik TPPO atau human trafficking merupakan bentuk pelanggaran atas martabat dan hak asasi manusia dimana konstitusi Indonesia sangat menghormati dan melindungi hak asasi manusia. Hingga saat ini, kompleksitas TPPO di Indonesia masih dikategorikan tinggi karena banyaknya tantangan yang perlu diatasi dalam memberantas praktik tersebut, seperti Indonesia menjadi negara asal, negara tujuan, dan negara transit perdagangan orang,” ujar
Menteri PPPA dalam sambutannya pada Virtual Symposium on Anti-Human Trafficking ‘Tackling Human Trafficking in Asia: Challenges and Best Practice’, Kamis (29/9).
Menteri PPPA menuturkan, dalam TPPO, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling rentan.
Biasanya, mereka diperdagangkan menjadi tenaga kerja, dipaksa menikah atau dipaksa dalam prostitusi.
Sementara itu, anak-anak kerap kali menjadi korban perdagangan melalu adopsi ilegal.
Kerentanan yang dihadapi oleh perempuan dan anak merupakan buah dari ketidaksetaraan gender.
Perempuan dan anak memiliki akses yang sangat terbatas terhadap sumber daya penting seperti informasi, pendidikan, tanah, dan kesempatan kerja, sehingga mengakibatkan kemiskinan.
“Simfoni PPA menunjukkan bahwa kasus TPPO perempuan dan anak menunjukkan peningkatan sekitar tiga kali lipat pada tahun 2021 dibandingkan tahun 2019. Perlu digarisbawahi bahwa jumlah kasus dan korban TPPO, seperti halnya korban kekerasan, seperti fenomena gunung es, di mana jumlah sebenarnya jauh lebih tinggi daripada yang dilaporkan,” ujar Menteri PPPA.
Lebih lanjut, Menteri PPPA mengutarakan bahwa menciptakan dunia yang bebas dari TPPO tidaklah mudah.
Sebagian besar pelaku TPPO adalah anggota sindikat yang terstruktur, teroganisir, dan sistematis.
Ditambah, perkembangan teknologi juga dikembangkan sebagai media untuk merekrut korban.
Namun, menciptakan dunia yang bebas dari TPPO tentu saja dapat dilakukan dengan kontribusi dari berbagai macam pihak dan pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, akademinis, profesional, media, serta seluruh masyarakat dalam upaya memberantas TPPO secara komprehensif, berkelanjutan, dan berkesinambungan.
“Saya berharap kita semua dapat turut serta bergabung dalam menciptakan dunia yang aman dan setara bagi semua. Saya sangat percaya, bahwa dukungan multi pihak, salah satunya dari para pemimpin agama, organisasi keagamaan, akan sangat penting untuk mencapai tujuan bersama dan menciptakan dunia yang aman bagi semua,” ungkap Menteri PPPA.
Dalam kesempatan tersebut, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Ratna Susianawati, menjelaskan berbagai macam upaya Pemerintah Indonesia dalam memerangi TPPO, diantaranya (1) dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; (2) dibentuknya Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang di Pemerintah Pusat, 32 Provinsi dan 245 Kabupaten/Kota di Indonesia berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2021; (3) ditetapkannya Peraturan Menteri PPPA Nomor 8 Tahun 2021 tentang Standar Operasional Prosedur Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban TPPO dalam rangka peningkatan pelayanan kepada saksi dan/atau korban TPPO; dan (4) pembentukan hotline nasional layanan pelaporan kekerasan terhadap perempuan dan anak, SAPA 129, yang terintegrasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) yang didirikan di 33 Provinsi dan 220 Kabupaten/Kota di Indonesia.
Baca Juga: Dirut PLN Terpilih Sebagai Tokoh Transformasi Digital Kelistrikan Nasional “Selain itu, kami juga memiliki praktik baik yang telah dilakukan diantaranya melalui model Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) di 33 Provinsi, 71 Kabupaten/Kota, dan 142 Desa se-Indonesia yang ditunjukkan dengan meneribitkan peraturan desa yang bertujuan untuk mengatur tentang bagaimana masyarakat melakukan migrasi aman dan terhindar dari praktik TPPO, melalui inisiasi penerbitan peraturan bupati/pimpinan daerah tentang larangan kawin kontrak yang kerap menjadi pintu masuk modus TPPO di beberapa daerah, meningkatkan partisipasi anak dan mengefektifkan peran Forum Anak sebagai pelopor dan pelapor (2P) dalam upaya pencegahan TPPO di sekitarnya, dan memberikan aksesibilitas kepada korban TPPO melalui program Bina Keluarga Pekerja Migran Indonesia (BK-PMI) yang saat ini telah ada di 15 provinsi,” jelas Ratna.
Secretary General of Asia-Pacific Women of Faith Network (APWoFN), Yasmin Naoko Kawada mengungkapkan salah satu proyek unggulan dari Asian Conference of Religions for Peace (ACRP) ialah Anti-Human Trafficking.
Praktik TPPO merupakan permasalahan global yang dipengaruhi dari berbagai macam faktor berlapis di seperti ekonomi, sosial, dan juga budaya di masing-masing negara.
Berbagai bentuk praktik TPPO di setiap negara pun berbeda-beda, namun memiliki satu benang merah yang serupa, yaitu pelanggaran martabat dan hak asasi manusia.
“Salah satu implikasi yang terkait dengan TPPO adalah kerentanan dan ketidak mampuan korban untuk bersuara. Banyak kasus TPPO yang sering terjadi menjadikan perempuan dan anak sebagai korban. Mereka tidak dapat menyuarakan aspirasi mereka karena hak asasinya sebagai manusia telah direnggut secara paksa. Oleh karena itu, dibutuhkan keterlibatan setiap entitas seperti keluarga, perusahaan, organisasi, kelompok sosial, komunitas agama, bahkan negara untuk dapat berperan dalam upaya pemberantasan TPPO,” tutur Yasmin.
Lebih lanjut, Yasmin menyampaikan, peran komunitas agama khususnya perempuan yang ada di dalamnya menjadi penting dalam menjembatani berbagai macam pihak dan pemangku kepentingan hingga akar rumput yang terlibat dan bertanggung jawab dalam memberantas TPPO.