Ketua Apindo Jabar Ning Wahyu Astutik. (
Dok. Sonora Bandung/Indra Gunawan)
Bandung, Sonora.ID - Menurunnya sejumlah kapasitas produksi dari beberapa perusahaan atau industri yang ada di Jawa Barat (Jabar), ditambah maraknya impor hasil tekstil ilegal, membuat para pengusaha harus memutar strategi agar usahanya tetap berjalan.
Dalam sebuah pertemuan dengan para pengusaha lintas sektoral, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jabar Ning Wahyu Astutik menyampaikan, bahwa banyak perusahaan atau industri yang tengah berusaha mempertahankan industrinya agar tetap berjalan tanpa harus melakukan pemutusan hubungan kerja.
"Memang harus ada win-win solution agar industri tetap berjalan, semisal pengurangan jam kerja, selang seling hari kerjanya, atau yang lainnya. Jadi tidak ada PHK, hanya pekerja pendapatannya berkurang saja," ucap Ning usai pertemuan di Bandung, Jumat (28/10/2022).
"Sebisa mungkin menghindari PHK ya, apalagi dari Januari 2022 sampai pertengahan Oktober ini, Apindo telah mencatat adanya PHK sebanyak 73 ribu karyawan. Jumlah ini belum ditambah lagi dari perusahaan-perusahaan yang tidak tergabung dalam Apindo," ungkap Ning.
Diketahui permasalahan ini mengemuka tatkala sejumlah pengusaha garmen, tekstil, dan sepatu di Jabar mengeluhkan adanya penurunan kapasitas order.
Dalam pertemuan tersebut, para pengusaha memaparkan banyak hal yang pada akhirnya membuat perusahaan harus mengencangkan ikat pinggang.
Contohnya seperti tidak adanya pembatasan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk sektor tekstil, karena biaya pembuatan tekstil, utamanya untuk penyempurnan kain, 30 persennya menggunakan batu bara.
Sedangkan saat ini harga batu bara naik karena terdampak kondisi geopolitik dan perekonomian global.
Untuk sektor semen dan pupuk, sudah diterapkan ada HBA-nya sebesar US$90 per ton.
Sedangkan dari sektor sepatu adanya pengurangan order hingga 50 persen dan mereka tidak mempunyai karyawan kontrak.
"Tingginya harga batu bara untuk tekstil yang saat ini mencapai 2 kali lipat jika dibanding HBA sektor semen dan pupuk tersebut sangat memberatkan para pengusaha tekstil," papar Ning.
Dalam pertemuan itu pula, para pengusaha meminta Apindo untuk mendiskusikan dengan pihak-pihak terkait agar dapat dicapai solusi, semisal perlu diaturnya HBA, serta Domestic Market Obligation (DMO).
"Memang sangat dilematis. Saat order turun 50 persen, apakah harus melakukan PHK, dan nanti bila kondisi sudah membaik mereka akan merekrut ulang? Kalau pun harus rekrut ulang, itu pun memakan biaya yang tidak sedikit," papar Ning kepada media.
"Salah satu bebannya itu kan ada di pengupahan, karena mereka kan sektor padat karya," imbuhnya.
Di sisi lain, lanjut Ning, kalau tidak dilakukan PHK maka akan menjadi beban untuk perusahaan, dan ketidakpastian situasi ini menjadi kekhawatiran tersendiri untuk para pengusaha.
Ning meminta para pengusaha untuk mampu menggali ide dan gagasan tentang solusi terbaik yang paling sesuai dengan bidang industri masing-masing.
Selain itu, para pengusaha, kata Ning, juga khawatir adanya kenaikan Stuktur dan Skala Upah (SUSU) yang pada tahun lalu besarannya ditentukan oleh pemerintah dan itu memberatkan pengusaha.
"Apindo sangat memahami keadaannya dan akan mengumpulkan data-data untuk membuat kajian dan evaluasi yang lebih komprehensif, serta mendiskusikannya kembali di internal pengusaha sebelum menyampaikan dan mendiskusikannya lebih jauh dengan pemerintah," kata Ning.
Dengan kondisi seperti ini, Ning meyakini Gubernur Jabar Ridwan Kamil tidak akan gegabah dan tidak akan mengambil langkah-langkah yang semakin melemahkan dunia usaha dan menambah jumlah pengangguran.