Yang begitu khas dari perhelatan Borobudur Marathon adalah keterlibatan warga yang aktif
dalam menyambut para pelari. Pada rute Tilik Candi, peserta memang mulai berlari dari Taman Lumbini, lantas melewati sejumlah desa untuk kembali finis di Taman Lumbini.
Sepanjang rute, banyak warga berdiri di pinggir jalur berlari untuk meneriakkan kata-kata
semangat. Ribuan anak-anak dan remaja yang datang dari beragam sekolah secara kreatif
menampilkan panduan sorak untuk memeriahkan suasana dan mendorong pelari untuk dengan gembira mencapai finis.
“Semangat, Mas!” pekik Istiqomah (54) dari bangku yang sengaja diangkutnya ke pinggir jalan untuk menonton Tilik Candi. Pelari-pelari itu sedang melintasi desanya, Desa Ngroto.
“Saya pernah dua kali ikut Borobudur Marathon waktu lomba ini diadakan awal-awal dulu, tahun 1990-an. Saya lari 10 kilometer dari Blondo ke Borobudur. Makanya sekarang juga saya senang sekali melihat para pelari ini,” Istiqomah bercerita.
Suasana meriah mewarnai rute, terutama karena adanya panduan sorak dari warga desa
maupun sekolah-sekolah. Mereka menyanyi, menari, memainkan musik, dan mengenakan
kostum-kostum bernapaskan adat daerah untuk menjaga energi para pelari.
Di salah satu titik misalnya, panggung kecil didirikan untuk pertunjukan kolintang dan bermacam dendang. Ini adalah persembahan dari SMPN 1 Kota Mungkid, Magelang.
“Untuk Borobudur Marathon ini, kami menyiapkan pertunjukan berupa orkestra kolintang
dengan perpaduan gerak dan seni. Ada beberapa lagu daerah dan nasional yang dibawakan. Penampilnya 120 siswa yang diseleksi dari kelas 7 dan 8,” cerita Mohammad Yusup, Wakil Kepala Sekolah SMPN 1 Kota Mungkid. Kelompok ini hanyalah salah satu dari puluhan penampil yang menyemarakkan Tilik Candi.
Baca Juga: Serangkaian dengan Borobudur Marathon, Festival Pasar Harmoni Panggungkan Kuliner dan Kriya Lokal