Jakarta, Sonora.ID – Inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu.
Kepala Kantor Perwakilan Wilayah Bursa Efek Indonesia (KPw BEI) Provinsi Sumatera Utara (Sumut), Pintor Nasution memberikan contoh harga menu makanan di restoran yang ada di mall saat ini rata-rata sebesar Rp 50.000. Jika tingkat inflasi tahunan adalah 10%, maka harga makanan yang sama di tahun mendatang adalah Rp 55.000.
Dua faktor yang mendorong terjadinya inflasi terdiri dari sisi permintaan (demand-pull inflation) dan sisi penawaran (cost-push inflation).
“Inflasi dari sisi permintaan dapat terjadi karena kenaikan populasi, peningkatan selera masyarakat, kenaikan pendapatan secara umum, faktor musiman, dan lain-lain. Sementara itu, faktor-faktor terjadinya inflasi dari sisi penawaran, yaitu depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara mitra dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (administered price), guncangan suplai akibat bencana alam, terganggunya distribusi barang, perang dan lain-lain, “ jelas pintor.
Lebih lanjut Pintor menerangkan, dibutuhkan sebuah instrumen keuangan yang tepat dalam melawan inflasi. Hal ini bertujuan untuk menghindari diri dari penyusutan nilai uang, serta memberikan potensi keuntungan yang lebih tinggi. Instrumen tersebut dikenal dengan instrumen investasi.
Baca Juga: Kondisi Pasar Modal Dalam Negeri Menjelang Akhir Tahun 2022
"Terdapat beberapa pilihan produk investasi di pasar modal Indonesia. Berbagai produk seperti saham, obligasi, reksa dana, ETF dan lain-lain, dapat diperjualbelikan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Instrumen-instrumen investasi ini bahkan mampu memberikan potensi imbal hasil di atas persentase inflasi yang dihadapi dari tahun ke tahun," terangnya.
Namun, seperti yang diketahui, inflasi kebutuhan pokok setiap tahun berkisar pada 4-5%. Sementara barang seperti kendaraan, rumah, dan biaya sekolah serta biaya kesehatan seperti rumah sakit, meningkat di atas inflasi kebutuhan pokok yang bisa mencapai 10-15% per tahun.
"Angka perkiraan inflasi inilah yang menjadi patokan dalam memilih instrumen. Jadi, portofolio investasi akan disusun berdasarkan kebutuhan di masa depan dan jangka waktu dalam berinvestasi, yang tentunya tetap memperhitungkan risiko investasi masing-masing,"ungkap Pintor.
Sementara itu, Setiap instrumen yang memiliki potensi keuntungan yang besar, tentu memiliki potensi risiko. Semakin tinggi potensi keuntungan, semakin tinggi pula risiko kerugiannya. Namun, semakin panjang jangka waktu investasi, semakin kecil risiko yang didapatkan. Hal ini karena siklus investasi pada umumnya akan terus bergerak naik dalam jangka waktu panjang, didukung oleh pemilihan instrumen yang diterbitkan perusahaan yang memiliki kinerja fundamental yang bagus. Meski demikian, dalam jangka pendek, setiap instrumen investasi juga berpeluang mengalami fluktuasi atau naik turun harga akibat berbagai faktor.
“Dari sekian banyak jenis investasi, saham dinilai lebih aman karena berpotensi memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap inflasi dibandingkan dengan obligasi atau deposito. Hal ini disebabkan adanya kemungkinan kinerja perusahaan memiliki probabilitas untuk tumbuh pada tingkat yang sama atau bahkan lebih tinggi dari inflasi, Namun, tidak semua perusahaan penerbit saham memiliki pertumbuhan kinerja yang positif,"terangnya lagi.
Sebab itu, setiap investor perlu melakukan analisis kinerja perusahaan yang akan dipilih untuk melakukan investasi dan paham bahwa instrumen saham hanya menjadi salah alternatif investasi untuk mempersiapkan kebutuhan atau menjaga gaya hidup di masa depan agar tetap sama atau bahkan lebih baik dari gaya hidup saat ini, dengan nilai uang yang terus meningkat.
Baca Juga: Layanan Data BEI Mempermudah Investor