Ketua Apindo Jabar Ning Wahyu Astutik (
Dok. Pribadi)
Bandung, Sonora.ID - Pada 16 November 2022 kemarin Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 Tentang Pengaturan Upah Mininum Tahun 2023.
Dalam Permenaker tersebut, disebutkan mengenai kenaikan upah minimum tahun 2023 tidak melebihi dari 10 persen.
Namun demikian, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat (Jabar) menyayangkan terbitnya permenaker yang dianggap hanya mementingkan pihak pemerintah.
'Terbitnya permenaker itu jelas-jelas menghadirkan formula penetapan upah baru yang tidak mencerminkan kepastian hukum dan usaha," ucap Ketua Apindo Jabar, Ning Wahyu Astutik di Bandung, Jumat (18/11/2022).
Menurutnya, penetapan upah mengacu pada turunan Undang-undang (UU) Cipta Kerja No 11 tahun 2020, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No 36 tahun 2021.
"Dengan dipertahankannya UU 11 Tahun 2020, dapat meningkatkan investasi dalam mendorong penciptaan lapangan kerja dan mempercepat pemulihan ekonomi pasca pandemi," kata Ning.
Ning mengatakan, terbitnya Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 ini juga telah melanggar hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"MK sudah menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana
baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja hingga dua tahun, yang berarti hingga tahun 2023 sampai selesai proses pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut," papar Ning.
Ning menjelaskan, prinsip UMK yang merupakan upah sebagai "safety net" pekerja di tingkat buruh dan upaya untuk mengurangi disparitas yang besar antara Kabupaten/Kota, menjadi terlanggar.
Hasil simulasi dengan rumus atau formula yang baru, lanjut Ning, justru menunjukkan bahwa daerah yang sebelumnya sudah memiliki UMK melebihi ambang batas atas, seperti Kabupaten Bogor, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Bekasi. Dengan adanya formula baru ini, akan mengalami kenaikan yang jauh lebih besar dari wilayah atau daerah dengan UMK rendah, seperti Kabupaten Ciamis, Kabupaten Banjar, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Pangandaran dan seterusnya.
"Pandemi Covid-19 ini menjadi goncangan, seperti turunnya order orientasi export akibat krisis global, membanjirnya barang-barang import yang membuat pasar domestik semakin sempit untuk produk lokal, maka hampir bisa dipastikan pengurangan pekerja secara masif akan terus terjadi," jelas Ning.
Ning mengatakan, dari awal terlihat pemerintah ingin mempersempit disparitas antar upah di daerah, tapi justru sekarang membangun jurang kecemburuan antar daerah dengan makin besarnya perbedaan upah diantara mereka.
Dalam kondisi Indonesia yang akan menghadapi resesi global di tahun 2023, kata Ning, kemungkinan akan berimplikasi pada industri yang berorientasi eksport, hasil terhitung UMP dan UMK 2023 dengan formula baru akan benar-benar membuat industri di Indonesia, khususnya Jawa Barat, akan mengalami periode paling sulit.
"Kami dari Apindo sangat prihatin, karena hal ini membuat semakin terpuruknya dunia usaha yang baru mulai recovery akibat pandemi, lalu menghadapi resesi global, dan sekarang ditimpa pergantian sistem pengupahan yang lebih memberatkan dunia usaha," kata Ning.
Di akhir, Ning dengan tegas mengatakan, bahwa Apindo berharap pelaksanaan UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan dan seluruh aturan turunannya tetap diberlakukan dengan disertai pengawasan yang intensif oleh pemerintah. Hal ini menjadi penting dalam rangka menjaga adanya kepastian hukum.